Sunday, October 08, 2006

Tentang cerita kebisuan

Pagi masih menjelma
Ketika aku terbangun dalam gurat-gurat kebisuan
Sebuah radio kunyalakan
Sayup-sayup terdengar berita dari seberang
Semalam, api telah membakar seisi kota
Senapan menjerit di sela rintih seorang bocah kecil
Seakan tahu, kesadaran tiada rupa dalam kekalutan
Senapan itu…
Bocah itu…
Api itu pun hendak berkata…
Kesia-siaan menjadi wajah,
Yang memberi topeng pada segala kemunafikan
Pada hidup ini
Pada kejadian yang terkadang mencekam
Entah…
Membuat kita tertawa atau larut dalam kesedihan
Ya…
Seringkali, kita larut dalam kebisuan

Jurangmangu, 2004

Renungan setengah tiang

Kesedihan negeri ini kesedihanku juga
Tak perlu kata tak perlu sapa
Kiranya bendera telah kehilangan makna
Hanya coretan, sepenggal cerita dari negeriku
Dari jiwa-jiwa
Yang rindu
Tanam padi tumbuh padi
Dan bukan ilalang

Juni 2004

Malam dan kesunyian

Malam akan tetap larut
Meski jengkerik telah diam

Tak ada bintang malam ini
Yang menghiasi langit
Karena mendung

Nanti hujan kawan
Bawalah payung sebelum kau pergi
Biarlah ia yang akan melindungimu dari hujan

Tetesan embun dingin menyentuh kulitku
Ketika berjalan dalam keremangan malam

Kesunyian memang terus menyergap
Menimbulkan kesedihan
Ketakutan pada hidup
Dan kemunafikan

Jurangmangu, 7 Februari 2003

Thursday, October 05, 2006

sang pejalan

...gunung-gunung memanggilku...


"selalu akan kulalui jalan itu"

Wednesday, October 04, 2006

Kepada jiwa yang mati

Suasana ini meruntuhkan kesadaran
Menyeruak, membunuh jiwa
Namun pasti
Hari kian berlari
Meninggalkan jejak-jejak darah dalam luka
Menetes membasahi tanah ini
Menggoreskan catatan kedukaan
Yang tak mungkin terhapuskan

Kepada jiwa yang mati
Lihatlah kobaran api yang kian membara
Lihatlah awan pekat membumbung menghitam
Menghiasi langit kala senja di ujung sana
Yang hitam karena duka
Yang merah karena luka

Kepada jiwa yang mati
Bangkitlah…
Dunia ini telah habis bagi tidurmu.

Jurangmangu, 4 Desember 2002

Hari benci

Malam ini..
Kubuka catatan harian
Lembar demi lembar
Kucari tempat kosong
Ingin kutulis
Tentang kesedihanku
Tentang kecewaku
Siang tadi
Ketika demonstrasi
Tiada hati nurani
Tak peduli putra-putri negeri
Kami dipukuli
Ingin kutuliskan
Hari ini
Aku benci polisi

Jakarta, Maret 2003

Sunday, October 01, 2006

Catatan keheningan

Jerit tangis bukanlah jawaban atas penyesalan
Hanya pada kesadaran jiwa harus berpegang
Hati ini pilu…
Dada ini sesak karena nafas telah terbuang
Keinginan hanyalah karang yang tak mungkin terhantam

Apakah semua ini mimpi?

Mata nanar nan sayu tenggelam di ujung jalan
Pikiran melayang liar menerawang
Kehampaan telah datang
Membuyarkan impian yang belum tergapai

Jiwa ini telah tergadai

Jalan telah hilang ditelan ombak yang menggulung
Tak ada perasaan, semuanya suram
Tak ada perlawanan, hanya tangis yang menggema
Menimbulkan jejak kesepian dalam pelarian

Apakah semua ini akan sirna?

Hanya kesedihan yang menari dipelupuk mata
Hanya ratapan yang terdengar tanpa henti
Dalam iringan senja yang akan segera berlalu
Meninggalkan harapan yang memilukan

Jurangmangu, 5 Februari 2003

Tentang secuil harapan

Lentera masih terlalu amat kecil
Namun jangan, jangan biarkan ia padam
Biarlah akan menemani langkah kita

Kelak suatu ketika
Kita akan
nyalakan lentera yang sangat terang
Yang akan menjaga
Dan juga membangkitkan
Roh kesadaran dalam jiwa kita
Untuk melaju dan terus melawan

Jurangmangu, 18 Oktober 2004

Tuesday, September 26, 2006

Tanpa Judul

Kudengar rintih perih
Menusuk dalam kabut nurani
Seorang ringkih, terisak dalam sesak yang teramat
Ia ingin menangis
Tapi mimpi tak pernah membuatnya mengerti
Bahwa kenyataan, seperti mawar yang selalu berduri
Seperti hari dalam temaram senja
Menari cahaya matahari berdendang cahaya bulan
Sekat-sekat seakan mengerti
Keikhlasan menemani kepahitan
Tercecer
Seperti janji pada hari
Kesenangan terbias dalam kelopak mata
Terekam
Seberkas potret tentang kenyataan

*tanpa tahun dan tanggal.

Friday, September 22, 2006

Catatan dan Kematian

tak perlu kau risaukan kematian
karena ia hadir untuk memastikan

tak perlu kau takutkan kehidupan
karena ia ada untuk kau tinggalkan

jakarta, 22 september 06

Setangkai bunga perlawanan

Kawan...
Mungkin setangkai bunga ini tak mampu menjelaskan
Ketika cinta dan dendam
Menjadi kekuatan dalam perlawanan

Kawan...
Biarlah hari akan menentukan
Cerita ini dimana akan berakhir
Tak usah risau mengukir prasasti
Sebab hari masih terlalu panjang

Kawan...
Mari kita dendangkan sebait lagu perlawanan
Pada hidup dan juga kematian
Yang kerap menemani
Ketika kita larut dalam kesunyian

Kawan...
Setangkai bunga ini
Kelak akan menceritakan
Meski kalah, kita pernah melawan

Jurangmangu, Oktober 2004

Sebuah ilusi kosong

Lama kuberdiri
Menatap di seberang jalan
Seorang kakek, sekitar 90 an
Dengan lencana perang
Memakai topi veteran
Lama kutertegun
Sampai ia kembali berjalan
Kemudian masuk makam
Waktu itu jam dua belas malam

Magelang, Maret 2003

Wednesday, September 20, 2006

Ketika senja berlalu*

Panas terik matahari membakar kulitku, seakan tak peduli pada rintihan nafasku yang tersengal-sengal menapaki jalan setapak yang terus mendaki itu. Seekor burung Prenjak hinggap di pohon, tanpa henti terus bernyanyi serasa menghiburku, namun aku tak peduli. Mungkin karena hatiku saja yang sedang gundah, hingga tak dapat menikmati suasana yang sebenarnya sungguh mempesona. Hamparan sawah yang luas, tampak menguning bagai permadani layaknya menggambarkan kesejahteraan petani, yang selalu tersenyum menghadapi musim panen tiba. Sebuah akhir perjuangan jika dapat kukatakan. Mengapa? kalau dipikir, hasil jerih payah petani selama ini, dari mulai menanam bibit kemudian memeliharanya, sampai akhirnya tumbuh menjadi biji-biji padi yang padat berisi, selalu sebuah penantian, padi-padi yang telah menguning.

Hijaunya pegunungan di sebelah selatan, sebenarnya turut menyegarkan suasana. Suasana yang panas seakan menjadi teduh kembali ketika kulepaskan pandanganku ke arah deretan pegunungan itu. Ia seakan menyihirku, membuatku terbuai dengan kelebatan pohon-pohon yang tumbuh beranekaragam di sana. Ia seakan memaksaku untuk mengatakan bahwa deretan pegunungan itu membentuk pola yang indah. Seperti sebuah filosofi kehidupan jika mampu kuartikan bentuk pola deretan pegunungan itu. Begitu banyak makna yang tersirat dari pancaran hijaunya pepohonan yang terus tegak berdiri meski panas terik matahari membakarnya. Tak seperti diriku. Kepayahan menghadapi sengatan matahari. Ya…….mungkin karena aku manusia, yang dikaruniai perasaan hingga dapat mengeluh. Seandainya saja pohon-pohon itu bisa bicara, mungkin ia akan mengeluh, sama seperti diriku. Namun karena ia ditakdirkan menjadi sebuah pohon, jadi mereka menerima segala hal yang menimpa dirinya,tanpa bisa mengelak, karena pohon itu tak mampu bergerak, kecuali tumbuh keatas dan menjadi besar. Tetap saja mereka di situ, jika saja dari sejenisku, kaum manusia tak memindahkannya.

Namun saat itu aku tak mampu menikmati layar lebar kehidupan yang disuguhkan dalam layar lebar kehidupan oleh Tuhan. Aku benar-benar merasakan sebuah kekecewaan yang sangat mendalam. Belum pernah aku merasa kecewa, seperti saat ini. Namun tak baik kiranya jika kuungkapkan di sini, biarlah kunikmati sendiri segala resah hatiku.

Menikmati sebuah kehidupan adalah suatu keindahan. Tak selamanya setiap manusia mampu melaksanakannya. Tak begitu sulit namun membutuhkan keikhlasan hati. Seperti halnya burung prenjak yang hinggap di pohon itu dan terus bernyanyi meski suasana sebenarnya sangat panas. Ia menikmati sengatan matahari sebagai suatu instru-men yang akan mengiringinya selama ia bernyanyi.memang ak tak pernah tahu, apa mak-sud dari nyanyiannya, mungkinkah ia sedang bersukacita atau sebaliknya sedang bersusah hati. Maaf saja, aku tak pernah paham bahasa binatang. Tentang suatu ekspresi binatang, memang sepertinya bermacam-macam, hatiku tak ikhlas jika waktuku habis waktuku habis untuk mengamati tingkah laku binatang, sementara tingkah laku dari kaumkupun, aku belum memahaminya. Padahal kalau aku mau berpikir lebih jauh, sepertinya mengamati perilaku manusia sama saja mengamati perilaku binatang. Memang tak semuanya, namun secara generalisasi, secara umum, perilaku manusia pada saat ini, para orang tua mengatakan hampir mirip perilaku binatang. Tapi kenapa harus binatang ….? Bukan pohon atau rumput, atau apalah pokoknya bukan binatang. Wah, kerepotan kalau menjelaskannya. Ya, pokoknya manusia itu seperti binatang. Tapi maaf, aku tak bermaksud merendahkan derajat manusia sebagai makhluk yang paling mulia, karena kalian tahu sendiri aku juga manusia, sama seperti yang kubicarakan.

Tentang perilaku manusia yang seperti binatang, mungkin karena terpancang pada teori Evolusi Darwin. Darwin, bapak evolusi, yang telah berjasa dalam pengembangan disiplin ilmu pengetahuan. Sebatas yang kutahu itu saja, hingga pada akhirnya manusia dipersamakan dengan binatang, bukan yang lainnya.

Kini kurasakan semilir angin menerpa tubuhku, tak terasa tak terasa waktu terus bergulir tanpa pernah meninggalkan jejak sedetikpun. Mungkin, pada saat ini sahabat yang mau mengerti aku adalah waktu. Karena sang waktu, matahari harus segera pergi, seiring putaran sang waktu. Pancaran sinarnya yang panas semakin lama semakin lembut membelai tubuhku. Kunikmati suasana ini, saat-saat suatu kehidupan harus berubah bentuk dan rupa. Saat-saat suatu aktivitas diakhiri dan berhenti untuk istirahat, menikmati buaian malam yang akan segera datang.

Inilah sebenarnya cerita keindahan hari terukur, lewat semburat cahaya kemerah-merahan dari sang surya di ufuk barat. Paduan warnanya adalah sebuah kehidupan. Namun, keindahan itu akan segera sirna. Berganti sebuah keindahan lagi dalam bentuk yang berbeda.

Inilah batas sebuah kehidupan, ketika senja telah berlalu, malam tak mungkin lari untuk menemani manusia mengukir hari di dalam mimpi. Kini senja itu telah berlalu, ada kepuasan dalam diriku, dapat menikmati senja saat ini. Namun aku selalu sedih, kenapa senja harus berlalu, meninggalkan eloknya tarian kehidupan .

Dan kini senja itu telah berlalu dan harus terus berlalu…………..

Jurangmangu, 22 September 2002

*pernah dikirim ke sebuah media (surat kabar-red), namun di tolak.

Lelaki dan perempuan

Yang tertidur di pinggir jalan
Di emperan toko
Atau geladak pasar-pasar

Yang tertegun ketika hari berganti siang
Yang terbangun ketika malam mencurigakan
Hidup dan matipun tiada ketenangan

Lelaki dan perempuan
Mereka serupa sampah yang tercetak di kehidupan

Magelang, 21 November 2004

Keresahan

Kepulan asap rokok ini adalah kegelisahan
Pada kehidupan yang kian tak kumengerti
Ketika penderitaan menjadi bahan tertawaan
Dan tontonan kekerasan menemani
Acara makan siang

Kian semrawut dunia ini
Seperti semrawutnya otakku ini

Tiada lagi teriakan lantang
Stop….
Segala kemunafikan dan kenaifan
Mari membangun sebuah dunia
Yang tiada kata kebencian

Jurangmangu, 25 September 2004

Keganjilan

Seni adalah harga diri
Seni adalah bahasa hati
Dari sekian keganjilan
Gila karena murka
Atau duka karena kecewa

Derita seni kadang mencekam
Menimbulkan kekacauan
Bahkan kematian yang menakutkan

Tapi derita seni
Meniupkan kesejukan
Bagi jiwa yang mati
Bagi jiwa yang terkekang

Seni…
Memberi pendidikan
Bagi perlawanan

Yogyakarta, 6 Maret 2003

Tuesday, September 19, 2006

Mimpi matahari

Jiwaku layu terhempas dari mimpi
Melayang dalam alam kenistaan
Tercerabut dari kesadaran, mencari pembebasan
Pelarian….

Sampai kapankah dunia akan terkembang
Dalam alam nyata kebisuan
Akankah, mimpi akan terbangun
Sampai jiwa telah mati
Hingga matahari kembali membangun kesadaran
Dari orang-orang yang telah mati

Jurangmangu, 17 November 2002

Entah

Dalam remang malam yang retak
Di sebuah lorong, di kampung kota ini
Cerita dan tragedi, seperti nyanyian dalam bisu
Begitu sepi, semakin sunyi

Jurangmangu, 4 Desember 2004

Aku

Aku seperti jiwa yang mati
Seperti kayu yang telah lapuk
Semangat telah hilang
Hanya ratapan dalam duka

Aku seperti hidup dalam batu
Yang tak mengerti arti perjuangan
Hanya kepasrahan
Melewati hari yang getir
Sampai saat ajal tak perlu ditunggu

Jurangmangu, 2003

Monday, September 18, 2006

Perempuan dan malam

Perempuan yang berjalan dalam gegas di gelap malam
Melewati desiran angin
Jejak tertinggal dalam detik yang mengiris
Melukis bait pilu lewat embun yang teramat
beku

Ada suara girang dan tawa yang menggema
Sementara rintih…
Serupa misteri
Menjadi kawan yang telah enggan untuk mengerti

Perempuan dalam dekapan malam
Malam…
Serupa langkah dalam detak lengkingan hari.

Jurangmangu, 31 juli 2005

Sebuah jeritan

Dengarlah….
Nyanyian yang kian terdengar parau
Menyeruak
Diantara tembok-tembok keangkuhan
Kekuasaan dan kemunafikan
Dengarlah…
Sebelum ia menjadi tenggelam.

Jurangmangu, 25 februari 2005

Kepada Kawan

Kawan…
Masihkah kita tertahan dalam kebimbangan
Antara melangkah atau tenggelam dalam kekalahan
Sementara….
Api tengah membakar seisi kota.

Jurangmangu, 19 april 2005

Sunday, September 17, 2006

Kucatat pagi ini

Kau tahu manis
Jalan yang kita lalui masihlah gelap
Tak ada pelita
Tak ada jejak
Tak pula jelas antara makna dan kenyataan
Namun tetap manis
Kita lalui jalan itu

Jurangmangu, 12 juli 2005

Memori Ruang Kosong

Sebermula gaduh, beriringan jerit tawa
Kata meluncur menghantam tembok
membekas dalam nurani tak berjiwa
Masih senyap
ketika jeritan membangun kesadaran
Ada kesedihan mengintip di balik sekat-sekat kemunafikan

Semu..
Ada topeng, tersenyum dalam bias kesucian
Kata seperti tersusun, menari dalam raga tanpa makna
Terlepas, terlempar menyusup dalam ruang kosong

Kejadian demi kejadian
Biarlah, tak perlu menunggu kematian
Karena kata tak pernah punya makna
Ia terlahir untuk hidup dalam kesunyian tanpa nama

Ia masuki ruang kosong, menanti ajal dalam kejemuan
Kepastian adalah abadi
Namun bukan lukisan dalam kanvas beku
Hanya titik-titik kesetiaan
Terselip samar dalam bayang-bayang kehidupan
Inilah yang terukir, membekas dalam memori ruang kosong

Juli 2003

Thursday, September 14, 2006

PELACURAN INTELEKTUAL*

Tulisan dengan judul yang sama pernah dimuat di harian Sinar Harapan pada edisi 21 April 1969. Artikel itu sendiri ditulis oleh almarhum Soe Hok Gie. Ketika itu Soe Hok Gie mempertanyakan bergabungnya para akademisi ke dalam pemerintahan, meninggalkan peran mereka sebagai seorang intelektual dan lebih memilih menasbihkan diri sebagai seorang teknokrat dan birokrat.

Soe Hok Gie mempertanyakan keputusan rektor UI kala itu, Prof. Dr. Sumantri Brodjonegoro yang mau diangkat menjadi Menteri Pertambangan. Menurut pandangan Soe Hok Gie keputusan ini juga berarti pilihan sang rektor untuk mau bekerja dengan bajingan-bajingan minyak, calo-calo modal asing, dan pejabat-pejabat korup dan sloganistis. Namun rektor menjawab bahwa hal itu juga disadarinya. “Tetapi kita punya dua pilihan jika kita melihat keburukan-keburukan yang terjadi dikalangan pemerintahan. Terjun ke dalam berusaha (dan belum tentu berhasil), memperbaikinya atau tinggal di luar sambil menantikan aparat tadi ambruk. Saya memilih yang pertama dengan segala konsekuensinya.”

Jawaban yang sama juga didapatkan oleh Soe Hok Gie ketika hal yang sama juga ditanyakan kepada teman-temannya yang lain yang juga bergabung dengan pemerintah dan menduduki pos-pos tertinggi di dalam pemerintahan. Soe Hok Gie percaya bahwa beberapa di antara mereka melakukan kompromi-kompromi, memberikan “izin-izin istimewa” dan kadang-kadang tidak bertindak terhadap (belum bertindak) penyelewengan-penyelewengan yang terjadi di sekitarnya. Meskipun demikian Soe Hok Gie tetap menaruh hormat pada mereka. Karena mereka bekerja dalam situasi yang sulit dan berusaha untuk mencapai hasil-hasil yang maksimal.

Kini setelah tahun 2005, berarti telah hampir genap 36 tahun waktu berjalan. Apa yang menjadi kegelisahan Soe Hok Gie, bukan hanya menjadi kenyataan, namun lebih dari sekadar itu. Kegelisahan itu telah menjadi cerita yang sangat manis mengawal jalannya pemerintahan negara ini. Penyelewengan demi penyelewengan –dan seringkali menjadi tidak kelihatan- yang juga dilakukan oleh mantan akademisi sebagai seorang intelektual bukan hanya belum ditindak, tetapi kadangkala malah dibiarkan dengan alasan praktis memperlancar pembangunan. Atau dengan kata lain seperti apa yang pernah diungkapkan oleh mantan Presiden Soeharto, bahwa hal-hal tersebut dibutuhkan sebagai pelumas pembangunan.

Dilematika seperti ini memang kemudian menjadi sulit untuk diberi makna yang pantas. Intelektual pada mulanya adalah bagian dari representasi kemerdekaan publik. Keberadaan intelektual menjadi penting ketika mereka mampu memainkan perannya dengan baik. Memang tuntutan kepada seorang intelektual sangatlah berat. Seorang intelektual yang mampu berdiri tanpa berpijak pada sebuah paham ataupun golongan tertentu, merupakan hakekat peran yang harus dimainkan oleh seorang intelektual. Sebagaimana dikatakan oleh Julian Benda, bahwa para cendekiawan pada hakekatnya tidak memiliki tujuan-tujuan praktis; Motif mereka adalah kegairahan untuk berbakti kepada kebenaran. Para cendekiawan tidak semestinya terjebak ke dalam kegiatan-kegiatan yang meninggikan pertimbangan atas keuntungan-keuntungan sosial politik kebendaan. “Kerajaanku bukanlah di dunia ini,” adalah motto yang menurut Benda semestinya mendominasi kata hati seorang intelektual. (Julian Benda, The Treason of Intellectuals. 1928)

Namun seringkali kenyataan yang sebaliknyalah yang kita dapati dalam realitas yang ada. Peran seorang intelektual seringkali telah menjadi berhenti ketika mereka masuk atau terkooptasi ke dalam sistem pemerintahan. Intelektual ini yang pada awalnya berangkat dari kenyataan empiris keilmuan dan rasionalitas, kemudian menjadi penghamba yang patuh dari kekuasaan. Kebebasan yang dimiliki oleh seorang intelektual –seperti diungkapkan oleh Th. Sumartana- untuk terus mempertanyakan kembali seluruh perangkat pengertian politik yang ada di masyarakatnya secara menyeluruh dan menjadi penggugat yang mengajukan keberatan terhadap segala hal yang dianggapnya tidak sesuai dengan ukuran-ukuran moral yang diyakininya (Anarki Kepatuhan, hal 4. 1996), kemudian menjadi hilang –beku- karena terkotak-kotak ke dalam pencapaian tujuan yang lebih sempit.

Kenyataan yang lebih menggelisahkan kemudian adalah semakin hilangnya terminologi kebenaran absolut. Kebenaran menjadi kata yang sangat “mahal” untuk diperoleh. Terlebih kebenaran yang kemudian diproduksi merupakan hasil kesepakatan bersama yang diperoleh melalui pertimbangan-pertimbangan akan keuntungan yang lebih besar di masa mendatang. Kebenaran kemudian dibungkus dengan sedemikian rapihnya sehingga menjadi layak dan pantas dalam pengungkapannya.

Realitas seperti inilah yang telah berulangkali kita temui dalam beberapa periode masuknya unsur-unsur intelektual ke dalam sistem pemerintahan. Kenyataan mengatakan bahwa keberadaan mereka cenderung terlibas oleh arus kekuasaan yang korup. Dan menjadi sangat jarang yang berhasil mempertahankan eksistensinya sebagai penjaga suara roh dan melantunkan tembang-tembang surgawi buat memberikan perimbangan bagi hidup keduniawian yang semrawut. (ibid, hal 9). Keberadaan mereka justru menjadi pembenar dari perkataan dari Lord Acton, “Power tends to corrupt. Absolute power, corrupt absolutely.”

Runtuhnya Dinding Moralitas.

Minggu, 26 Desember 2004 silam, menjadi hari yang terasa sulit dilupakan oleh masyarakat Aceh. Hari itu juga menjadi kepedihan bagi bangsa ini dan keprihatinan bagi bangsa-bangsa seluruh dunia. Ketika pagi yang belumlah sempurna tiba-tiba menjadi saat yang paling menakutkan. Gempa besar yang disertai dengan datangnya gelombang Tsunami yang hebat seakan menjadi tamu yang terlalu pagi untuk mengetuk pintu. Namun tamu itu ternyata datang dengan membawa kabar yang sangat menyedihkan.

Tamu yang berpakaian bencana itu seakan ingin melengkapi kebingungan yang tengah menghinggapi masyarakat Aceh, ketika beberapa hari sebelumnya pemimpin mereka, Gubernur Abdulah Puteh terpaksa harus menginap di Rutan Salemba atas dugaan penyelewengan dana atau korupsi dalam pembelian Helikopter. Puteh akhirnya diputus bersalah oleh pengadilan dan di vonis dengan hukuman penjara selama 10 tahun berikut hukuman subsider lainnnya.

Namun bukan hanya Aceh dan bukan hanya Puteh yang telah menjadi kenyataan sendu bagi bangsa ini. Bencana seakan tidak mau berhenti hanya sampai di Aceh saja. Daerah lain, meski tidak separah di Aceh juga turut kedatangan tamu yang sejatinya tidak diharapkan ini. Begitupun dengan apa yang telah dilakukan oleh Puteh. Sebelumnya telah ada beberapa Puteh-Puteh lain yang telah di giring masuk bui, meski masih ada juga Puteh-Puteh lain yang masih berkeliaran dengan bebasnya sampai sejauh ini.

Sesungguhnya apa yang sebenarnya terjadi. Seorang bapak dengan terpaksa harus mencuri seekor ayam karena anak dan istrinya sudah tidak kuat lagi untuk menahan lapar. Namun hal ini lain. Jabatan seperti gubernur atau kedudukan sebagai wakil rakyat ataupun jabatan-jabatan publik lainnya, terlalu naïf jika berurusan dengan masalah perut yang keroncongan karena lapar. Mereka mewakili golongan orang-orang yang terpilih untuk menduduki jabatan yang terhormat dengan diberikan gaji dan fasilitas yang terhormat pula. Demikian terjaminnya kehidupan mereka.

Orang-orang hebat ini, yang terdidik dalam lingkungan pendidikan yang bermartabat, seperti memutuskan untuk tidak merasa perlu mengindahkan suara sunyi dari nurani kecil yang masih menjaga kesucian diri. Sehingga perihal iman, etika, dan moral seakan telah menjadi nyanyian sumbang yang tak perlu didendangkan lagi

Kenyataan semakin bertambah kelam, saat angin juga memberi kabar ditangkapnya Mulyana W Kusuma. Mulyana ditangkap berkaitan dengan penyuapan yang dilakukannya terhadap seorang pegawai BPK, menyangkut audit BPK terhadap KPU. Hal ini kemudian menjadi indikasi yang kuat, bahwa terdapat korupsi di tubuh KPU. Untuk kesekian kali, ada sesuatu yang semakin menjauh dari kesadaran dan keinginan.

Semua mengangguk ketika dikatakan bahwa KPU dibentuk agar menjadi lembaga yang terhormat. Semua tidak menyangkal kalau Mulyana adalah seorang yang bermartabat. Namun semua juga membenarkan kalau kenyataan tidak pernah berbohong dan akan selalu berkata jujur.

Puteh dan Mulyana memilih mewakili segelintir orang yang akan mengangguk dengan malu-malu ketika padanya dikatakan, “ Seperti mustahilnya bagi seseorang untuk tak merasakan madu ataupun racun yang ada di ujung lidahnya, mustahillah bagi seseorang yang berurusan dengan dana pemerintah untuk tak mencicipi, meski sedikit saja, kekayaan sang raja.” (Kautilya, The Arthashastra. 2000)

Inikah zaman kalabendu seperti pernah dialami dan di ceritakan oleh masyarakat yang memilih “membangkang” dan bertahan dalam lokasi proyek bendungan besar Kedung Ombo. Ketika itu masyarakat harus merasakan penderitaan yang sangat dan kemudian harus terusir dari tanah leluhurnya demi ideologi pembangunanisme dari pemerintah. Pemerintah, seperti kemudian terjadi memilih melupakan ukuran-ukuran kemanusiaan dan moralitas dalam menghadapi masyarakat “pembangkang” ini.

Atau inilah zaman edan yang menjadi kegelisahan dari pujangga besar Ronggowarsito, di mana tak pernah diungkapkan kapan berlangsungnya dan kapan berakhirnya, karena mungkin saja akan terjadi sepanjang zaman. Pertanyaan demi pertanyaan seakan terus menggelora memenuhi isi kepala, tanpa pernah bertemu tatap dengan jawabnya.

*pernah dikirim ke sebuah media (koran-red) namun tak ada tanggapan.

Persetubuhan Bisu

Kutatap wajahmu dengan liar
Ketika kau lepaskan pakaianmu dengan tiba-tiba
Tanpa perjanjian
Tanpa perikatan
Waktupun terdiam ketika kita terlarut dalam
Ketidakmengertian

Kemudian kututup wajahmu
Tak ingin kudengar rintihan dari mulutmu
Tak ingin juga kulihat
Tuhan yang mengancam lewat wajahmu

Ya, malampun semakin resah
Ketika kita terlalu hanyut dalam persetubuhan
Lewat desah nafas yang teramat panjang
Namun kadang terengah-engah.

Kita juga tengah berlari
Melewati gurun luas dengan kedahagaan
Ya, kita dahaga akan kesemuan
Yang sering melintas
Namun lebih banyak tanpa menyapa.

Karena kita
Serupa sosok sepasang binatang
Yang tenggelam
Seiring jiwa yang telah pula
Menjadi bisu.

Jurangmangu, 25 februari 2005

Cerita dari Minul

Minul…
Kemana kan kau bawa dirimu
Ketika hari seperti enggan bertatap denganmu
dan waktu
Tak lagi memberi tempat untukmu

Minul…
Kuingat apa yang terakhir kau ucapkan
Suatu sore
Setelah matahari menghitamkan kulitmu
yang sering kau katakan
Sebagai tamparan kesia-siaan.

Berkata kamu padaku
Aku tak mungkin bertahan dalam diam
Terbelenggu dalam ketidakmengertian
Dan kulewati hariku dalam kebekuan
Kuingin sepenggal kepastian
Untuk diriku
Untuk hidupku
Di sana, di suatu tempat yang tak pernah kumengerti.

Jurangmangu, 3 maret 2005

Wednesday, September 13, 2006

Riwayat Bodong Seorang Lelaki

Dipundaknya...
Ia taruh beban yang teramat berat
dan berjalan seperti lelaki yang teramat kekar.
Dengan segala keinginan
akan hari yang dijanjikan.

Pasti...
Ketika hari telah terlewati
dan mimpi-mimpi telah disusun terlalu manis.
Ia tegakkan pandangan serupa berdoa.
Namun tak mampu lagi ia menakar
antara kekuatan dan keinginan
antara kemampuan atau sekadar harapan

heh..heh..

Terkadang perlu ia menangis
namun terlalu sering ia tertawa penuh beban.
keceriaan adalah jeritan teramat sunyi
yang kerap...
Menghiasi lukisan kehidupan
yang sekarang baru ia buat

Ya...
Inilah riwayat bodong seorang lelaki
terkadang ia menangis
Namun terlalu sering ia tertawa penuh beban
sampai tanpa sadar
nasib menjadi teman yang selalu mempermainkannya.

jurangmangu, 7 desember 2004

Tuesday, September 12, 2006

Sekali kita berjalan

Kawan, ada kegelisahan
Merayap dalam hari yang pekat
Selembar catatan luntur dalam keruh air
Seorang tua berjalan dalam rintih tertahan
Tapi kepedulian tak lebih omong kosong

Kawan, pernah kusebut nun jauh hari
Sepenggal cerita dalam bingkai kesedihan
Terkoyak asa dalam jiwa yang meronta
Lelah mencari penafsiran
Di selip lorong terkekang nafsu kekuasaan

Kawan, catatan tak lebih kata hampa
Manis kehidupan terjerat dalam rintih
Tarian sesak mengoyak kata hina
Mungkin hari harus berhenti

Kawan, mungkinkah dapat kita ulangi
Selembar hari tanpa kata penuh derita
Namun bukan sebuah penyesalan
Ketika hidup teriris dalam perih

Kawan, biarlah suara tetap menggema
Kekosongan harus dilawan
Bagai hidup adalah perlombaan
Mencari dalam rentang terlampau panjang

Kawan, kutitip perjuangan dalam diam
Sejauh impian, semoga tak ada kesia-siaan
Karena jalan selalu punya ujung

Kawan, di depan ada pelita
Entah kebahagiaan atau kebohongan
Cukup terang, namun mampu membuat bimbang

Kawan, kalau kau temukan ketenangan
Percayalah akan keadaan
Seperti riwayat, digali kian terpendam

Kawan, kutitip salam untuk perjuangan

Januari 2004

Tentang kehidupan

Kehidupan semakin panjang
Ketika malam, suara seakan tenggelam dalam lirih
Tanpa nafas, hanya jiwa-jiwa yang beku

Namun kutahu rintih perih tiada arti bagi kehidupan
Selimut kelam telah menahan
Kuasa hati, seakan mati oleh kata

Etalase-etalase kecongkakan, berdiri seakan manusia tanpa arti
Harga adalah kaya, kuasa adalah harta
Kesombongan menjadi raja, menari dalam hati setiap insan

Di suatu sudut, rintih perih hanyalah lelucon
Jerit lapar mungkin kecoa yang pantas mati

Tuhan,
Kau buatkan kami lukisan
Tak mampu kami bedakan warna
Kau berikan kami pengertian
Sering kekeliruan yang kami lakukan

Seakan harapan adalah kehampaan
Kenangan yang penuh kesia-siaan

2004

Monday, September 11, 2006

Ketika Anjing bukan Anjing

Kulihat anjing lewat depan rumah
Mungkin ada maling mengajak bergurau
Langkahnya tenang seirama nafas yang mendengus

Ia bernyanyi
Memanggil kawan atau lawan
Mengajak berpesta daging manusia kering tulang

Anjing itu tertawa bahkan kini tersenyum
Giginya runcing
Selayaknya buas mengoyak
Tapi anjing itu tak menggigit
Tak suka mungkin tapi
Ia membunuh

Anjing mungkin tetap anjing
Suka-suka
Kadang ia anjing kadang ia bukan
Atau mungkin keduanya

Terlalu gamblang perilakunya

2004

Ziarah duka

kepada Munir

Seketika kutemu dia seiring kesunyian
Seringkas gundukan tanah
Masih menyisakan basah

Hanya riwayat
Tergores dalam tinta kegelisahan

Ia harus kembali
Serupa perasaan tanpa perbincangan

Sore lebih menyayat
Ketika…
Pembicaraan masih secangkir kopi
Dan nyanyian
Segera mati oleh sepuntung rokok

Kawan…
Masihkah mimpi menyerupai
Misteri bagimu?

Samar-samar lonceng kematian
Mendekat
Mendekap mesra tanpa menyapa

Kawan…
Tak perlu rintih atau gejolak
Tak juga tangisan

Seperti katamu
Ketakutan harus dilawan

Kawan…
Serupa kepastian
Jalan sepimu
Belumlah tenang untuk berjalan.

Jurangmangu, 3 agustus 2005

Memori Singkat Matinya Seorang Sahabat

Memori Singkat Matinya Seorang Sahabat
Sepenggal Catatan Dari Pementasan Monolog Matinya Seorang Pejuang
A Tribute to Munir*

“Seperti yang selalu kutakutkan selama ini, akhirnya orang-orang itu membunuhnya. Aku mengetahuinya pertama kali dari koran-koran. Aneh rasanya. Sebagai seorang sahabat mestinya aku mengetahuinya langsung. Tapi selalu dikatakannya, kematian tidak pernah bisa diduga oleh siapapun.” (Naskah Monolog).

***

Kemudian nyala lampu mati. Seorang laki-laki berjalan dalam kegundahan menuju sebuah panggung sebagai “jagad cilik.” Dua buah kursi dan sebuah meja begitu nyata menawarkan elegi kesunyian dalam pertemuan yang berjalan teramat panjang. Namun laki-laki itu sendiri, tidak dengan siapapun. Hanya sebuah papan catur, lengkap dengan buah catur yang telah tersusun dengan sangat rapi, sebagai barisan manusia dalam kehidupan.

Sesaat, nyala api membakar sepuntung rokok, namun tak cukup untuk terlalu lama memberi kenikmatan. Hanya sekejap, seperti kenyataan yang tak perlu terlalu lama memberi kesadaran. Laki-laki itu kemudian mulai memainkan buah catur. Pion kecil maju ke depan. Hanya selangkah. Lama ia termenung, menekuni papan catur. Di papan catur hanya ada dua warna, hitam atau putih. Tidak ada kelabu. Seharusnya seperti apa yang ingin menjadi impian bagi laki-laki itu. Untuk dunia ini, cukup hitam atau putih, tak perlu kelabu.

Sepantasnya dalam sebuah monolog, laki-laki itupun mulai berkata-kata. Tidak terlalu penting baginya menunggu orang lain –entah sebagai kawan atau lawan- mengajaknya atau diajaknya bertutur-kata. Terlarut dalam obrolan-obrolan panjang yang terkadang sangat melelahkan. Namun laki-laki itu memilih berkata seorang diri. Berkata pada diri sendiri. Berkata dengan diri sendiri. Dengan begitu ia lebih mengerti, untuk apa ia harus berkata-kata.

***

Laki-laki yang memilih memainkan peran sebagai aktor tunggal dalam pementasan monolog ini adalah Whani Darmawan, seorang pekerja teater dari Yogyakarta. Whani telah memilih memainkan peran ini karena alasan kemanusiaan. Baginya, sebagaimana kemudian ia tuturkan seuasai acara pementasan, tiada alasan apapun yang bisa dijadikan dasar bagi seseorang atau apapun juga untuk melakukan pembunuhan terhadap orang lain. Tidak juga kepada Munir, dimana sepenggal kisah hidupnya diangkat dalam pementasan ini. Munir adalah juga seorang manusia biasa. Hanya kebetulan dia adalah aktivis HAM. Hanya kebetulan dia adalah aktivis Kontras, dan kebetulan-kebetulan lain yang melekat pada pribadi Munir, termasuk keberanian seorang Munir. Pembunuhan juga tidak bisa dilakukan kepada tukang batu, tukang becak, dan tukang-tukang yang lain, begitu Whani berpendapat.

Pementasan monolog yang seluruhnya berdurasi 45 menit ini, lebih nyata menunjukkan kegelisahan dari seorang pribadi sebagai manusia karena kematian kawan karib. Lintasan kehidupan masa lalu bersama sang kawan terekam jelas dalam alur demi alur yang tersaji dari pementasan ini. Pembicaraan diri yang kemudian terjadi memperlihatkan kegelisahan karena kenyataan yang terlalu sendu begitu cepat datang menghampiri. Ada kenyataan yang tidak bisa diterima, namun ada kesadaran yang ingin dibangun mengenai cerita kematian sebagai suatu hal yang pasti, tetapi bukan untuk ditakuti –sebagaimana pernah diajarkan oleh sang kawan-Munir, sebelum maut telah datang terlalu cepat menemuinya. Hingga akhirnya kisah-kisah kesedihan, kedukaan dan perasaan kehilangan bercampur-aduk dengan rasa jengkel, dan kemarahan yang berlomba-lomba memenuhi benak –yang tercermin dalam diri sang aktor- begitu pementasan ini bercerita, karena kehidupan yang begitu singkat dan kematian sang kawan yang datang terlalu cepat. Kematian selanjutnya menjadi hal yang tak perlu terlalu lama untuk diratapi, namun ada pemaknaan lebih lugas yang harus dilakukan.

Pementasan ini juga memperlihatkan sebuah bentuk pengalaman batin dari F.X Rudy Gunawan, sebagai penulis naskah. Melalui barisan kata-kata yang dipilihnya, Rudy berusaha memvisualisasikan pergolakan pikiran yang telah terjadi dalam dirinya bersama sang kawan –Munir. Karakter Munir meski sepenggal, kemudian muncul dalam kilatan-kilatan singkat yang berlangsung lewat dialog dalam monolog. Rudy seperti tengah mewujudkan rekaman kejadian yang telah dilaluinya dalam kehidupan bersama sang kawan –Munir. Mungkin Rudy pernah bergaul secara akrab dan melakukan perbincangan-perbincangan hangat dan panjang dengan almarhum Munir. Entah juga lewat cerita-cerita dari kawan akrab almarhum Munir, atau melalui berita-berita di berbagai media, sesungguhnya hal ini lebih diketahui oleh F.X Rudy Gunawan sendiri.

Namun ada kegelisahan yang belum menemukan jawaban dalam pementasan yang memilih tempat di Bentara Budaya Jakarta ini. Pementasan yang digarap oleh sutradara Landung Simatupang, seperti masih enggan untuk berbicara kepada dunia luas. Sebagai sebuah karya seni yang juga mendapat sentuhan musik latar dari komponis kenamaan sekaliber Tony Prabowo dan penata artistik Hendro Suseno, memang karya ini telah pada tempatnya untuk dipentaskan dalam ruang apresiasi BBJ. Namun serupa warna hitam yang memenuhi panggung tempat berlangsungnya pementasan hingga mampu memunculkan suasana kelam, tanpa sengaja catatan kelam juga turut tergores dalam lintasan waktu yang ada, seiring berlangsungnya pementasan ini.

Ada nuansa eksklusivisme yang membalut dan memenuhi ruang-ruang yang dihadirkan dalam pementasan monolog ini. Karya ini masih bertahan dalam tataran ide-ide sentris mengenai kerja kesenian khususnya pementasan monolog, sebagai karya seni yang memang masih terlalu sulit untuk dipahami oleh semua orang. Hingga akhirnya pilihan pementasan ditetapkan di BBJ. Pilihan ini setidaknya mengandung dua konsekuensi logis yang memang kelihatannya menguntungkan. Pertama pengunjung yang datang dalam pementasan ini sangat mungkin seorang seniman atau setidaknya penikmat seni, yang tentunya akan lebih terasa dalam memberikan apresiasi. Kedua mengingat pementasan ini yang memang mengangkat sebuah “isu” kemanusiaan dan pelanggaran HAM, di mana sosok Munir ditampilkan sebagai tokoh sentral, pengunjung yang juga menghadiri pementasan ini merupakan seorang aktivis atau setidaknya pernah mengenal dunia aktivisme. Sehingga menjadi kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran mereka lebih karena kesudahtahuan akan isu yang ditawarkan, bukan keinginan untuk mengetahui kenapa monolog ini harus mengangkat sosok Munir dan keberaniannya dalam berjuang sampai kemudian kematian menjemput.

Keberadaan BBJ di sini kemudian malah menjadi sekat pemisah bagi akses yang lebih luas bagi seluruh rakyat, di mana Munir berjuang untuk hal itu. Dalam pengertian ini, terlihat bias yang mengemuka ketika melihat pementasan ini sebagai sebuah bagian dari kampanye kemanusiaan dan perjuangan menegakkan HAM, termasuk bentuk solidaritas bagi penuntasan kasus Munir. Ada hal yang terlupakan dari pementasan ini. Munir, sebagai seorang aktivis maupun intelektual, memutuskan melakukan bunuh diri kelas, untuk lebih memahami pilihannya dalam menapaki jalan sepi yang tidak dilalui oleh banyak orang. Munir tidak berada di luar dari apa yang diperjuangkannya, namun terlibat secara aktif di dalamnya. Dalam pengertian inilah sesungguhnya seringkali ada kealpaan dalam penyajian sebuah karya seni yang mencoba mengangkat isu-isu besar mengenai kemanusiaan.

Seandainya pementasan ini tidak bertempat di BBJ, namun di tempat lain yang lebih mudah diakses oleh banyak orang, mungkin akan lebih banyak lagi orang yang akan mengetahui apa yang menjadi kegelisahan seorang Munir dan mengapa akhirnya kemudian Munir harus dibunuh.

Munir hanyalah seorang manusia biasa yang mencoba menggali dimensi-dimensi kemanusiaanya untuk menjadi manusia yang lebih manusiawi” (Naskah Monolog).

*pernah dikirim ke sebuah media (koran-red), ditolak.

Sunday, September 10, 2006

Lelaki dan Sepeda tua

Umur adalah periode dalam waktu
Namun tua bukanlah hantu yang menakutkan
……………………..

Lelaki dan sepeda tua,
bagai saudara sama pergaulan
Kalau kesakitan,
perasaan harus turut meradang
Tentang pemaksaan hanya aturan yang menentukan

Sepeda tua….
Mimpimu adalah nyanyian dalam hidupku
Lelakiku..
Riwayatmu adalah topeng dalam perjalananku

Kilap warnamu..
Kalau kokoh,
tak kutahu berapa umurmu
Kau sayang aku
seperti tikus tak punya malu
Kadang kau gila atau mungkin lupa muka
Kau lempar seusang kertas dalam tong sampah

Kau antik..
Masih kulihat rona muda dalam warnamu
Sepeda tua..
Tak mampu kurajut cerita dalam bingkaimu
Dahaga terlalu kering untuk mengenang
sepenggal terpedo ban rodamu
Sorot lampu hanya tipuan fatamorgana
Seperti rem sepatah aus harus dipasang

Lelakiku
Wajahmu sering mencari gundah
Entah kegelisahan
matamu semacam cermin

Sepeda tua..
Lelakiku..
Kita rajut hari dalam bingkai-bingkai roda

2004

Thursday, September 07, 2006

HARI BERANJAK……....

Selamat malam kehidupan
sekian lama kau lewati lorong- lorong gelap sang waktu
telah kau tingggalkan sebongkah kenangan
dalam alurmu yang sering menimbulkan kesan
kini kau terus berjalan
bersama tetesan embun di pagi buta
selaras rekah mentari di ufuk timur

selamat pagi kehidupan
mungkin inilah kisah dalam hidupku
yang tak kusadari telah terukir dalam setiap jejak langkahku
bersama tatapan sombong sang surya di waktu siang
hiruk-pikuk tlah kubiarkan, demi sebuah harapan
hanya bila kutemui………

selamat sore kehidupan
kurasakan keletihan dalam jiwaku
merasuk dalam sumsum antara penatku
seharian berlalu dalam kehidupan
melewati angkuhnya sang waktu yang terus berjalan

selamat malam kehidupan
kini aku harus kembali
karena hidupku adalah kejadian
dalam iringan nyanyian doa dan harapan
demi sebuah asa yang terlahir dalam pikiran
kini waktu harus berlalu, dan kehidupan harus berganti
seperti halnya hidupku yang terus berjalan
tanpa pernah kusadari……….

Jurangmangu, 30 September 2002

Wednesday, September 06, 2006

LAHIRNYA GENERASI PEMBERONTAK*






“Hati setiap pemuda mengenal keinginan dan keputusasaan, yang tak dapat diajuk hanya dengan ukuran-ukuran rasional. Dilain pihak pemuda selalu dibakar oleh cita-cita dan idealisme yang tinggi-tinggi. Mereka lincah, sigap dan suka meledak karena penuh vitalitas. Mereka tenggelam dalam semangat ”tak mengenal mati”, dan untuk membuktikan semangat itu mereka mempunyai kecenderungan untuk melakukan tindakan-tindakan ekstrem” (Adam Malik)

Sejarah telah mencatat bagaimana upaya-upaya kaum muda untuk mengabdikan diri kepada masyarakat. Bagian kehidupan yang lebih luas yang secara tidak langsung telah memanggil peran pemuda pada persoalan-persoalan yang pelik. Keterlibatan pemuda -dalam hal ini bisa diwakili oleh segolongan kecil mahasiswa- menjadi bagian yang penting dengan menjadi motor penggerak dalam perubahan struktur sosial dalam masyarakat. Kehadiran mereka mewakili segolongan kecil intelektual yang memilih berumah diatas angin, tanpa berpihak pada sebuah paham ataupun kepentingan golongan tertentu. Mereka hadir untuk terus mempertanyakan kembali seluruh struktur atau perangkat pengertian politik yang ada di masyarakatnya secara menyeluruh. Mereka muncul sebagai penggugat terhadap segala hal yang dianggapnya tidak sesuai dengan ukuran-ukuran moral yang diyakininya.

Perasaan tidak puas dan kegelisahan seringkali menjadi alasan yang cukup kuat menarik perhatian segolongan kecil anggota masyarakat ini untuk menjadi “pemberontak” terhadap kekakuan sistem yang ada. Sehingga, mereka seringkali mendapat cap sebagai bagian dari anak haram politik pendidikan pemerintah (Hariman Siregar, 2001).

Mahasiswa dan Dunia Aktivisme

Tak dapat dipungkiri, bahwasanya setiap periode perubahan di negara ini selalu dihadiri oleh keterlibatan peran mahasiswa. Mahasiswa selalu berada di garda terdepan sebagai pelopor terjadinya perubahan. Secara aktif mereka meninggalkan bangku perkuliahan untuk memulai ataupun untuk melibatkan diri pada proses perubahan yang sedang berlangsung. Bahkan terkadang mereka terlibat dalam aktivitas ekstrem yang kelewat berani. Demonstrasi, kelompok studi dan diskusi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan pribadi seorang aktivis mahasiswa untuk mengasah keintelektualitasan, agar dapat memahami realitas fenomena sosial yang sedang terjadi.

Namun dalam periode sekarang ini, keterlibatan mahasiswa dalam aktivitas-aktivitas kenegaraan sedikit banyak mendapat pertanyaan dari berbagai kalangan masyarakat. Aktivitas-aktivitas mereka tidak mampu dipahami oleh sebagian besar masyarakat. Mereka telah menjadi bagian yang “angkuh” dari masyarakat, dengan beban stempel sebagai seorang aktivis mahasiswa. Terkadang mahasiswa hanya paham secara teoritis tentang apa yang sebenarnya terjadi tanpa bisa menawarkan solusi konkret pada apa yang menjadi kegelisahan masyarakat –bagian yang menjadi objek perjuangan aktivis mahasiswa.

Mimpi-mimpi mahasiswa terlalu tinggi, bahkan jauh berada di menara gading, sehinga sulit untuk diraih oleh kerangka pikir rasional masyarakat. Sehingga secara tidak sadar mahasiswa malah terjebak dalam dunia aktivisme –sebagai dunia elit yang dibangun dalam lingkungan mereka sendiri. Mahasiswa semakin terhanyut dalam pengertian yang mereka bangun mengenai sosok idealis yang lebih identik dengan pemikiran high politics dan high issue yang tentunya hanya dapat dipahami oleh kalangan mereka sendiri. Sehingga dunia aktivisme dan aktivis mahasiswa menjadi bagian yang tidak tersentuh oleh masyarakat. Bahkan sepertinya, selamanya mereka membuat mayarakat sebagai bagian yang tak pernah sadar, menganggap mereka sebagai objek, yang selamanya akan menerima segala tindakan yang dijalani dalam kerangka keterlibatan mahasiswa dalam arena kenegaraan.

Dalam pengertian ini, secara tidak sadar mahasiswa telah membuat jurang pemisah atau diskrepansi dengan masyarakat. Perubahan yang ditawarkan oleh mahasiswa tidak mampu menyentuh kehidupan masyarakat. Idealisme yang mereka anut hanya menjadi nyanyian sumbang di telinga masyarakat. Aktivis mahasiswa menjadi sosok idealis yang sangat unik dalam penglihatan kacamata masyarakat. Dalam hal ini ide yang ditawarkan belum berhasil menghadirkan realitas sosial baru atau hanya terjadi involusi kata-kata. Di mana kata-kata ataupun ide yang mengandung maksud dan tujuan yang suci dan luhur diproduksi sebanyak-banyaknya, tetapi tujuannya bukan untuk apa-apa, kecuali sekadar untuk didengarkan belaka dan lebih jauh lagi sebagai hiburan dan pelipur lara belaka. Kata-kata diproduksi dan dikembangkan sedemikian rupa dan sebanyak-banyaknya demi untuk menjadi kata-kata itu sendiri, bukan untuk tujuan menciptakan alam nyatanya. Dengan demikian, kata-kata yang bagus, indah, merdu, dan puitis yang mengandung maksud dan tujuan yang suci dan luhur tidak banyak artinya bagi penciptaan realitas sosial (Akhmad Zaini Akbar, 1996).

Aktivis mahasiswa sebagai pihak yang memosisikan diri sebagai pihak yang berperan untuk terus mempertanyakan kebijakan pemerintah, seharusnya memahami hal ini. Bagaimana seharusnya membumikan ide-ide yang selama ini menjadi mimpi-mimpi mereka sehingga mampu dipahami oleh masyarakat, pada hematnya merupakan agenda yang harus segera menjadi pertimbangan untuk dilakukan. Hal ini akan membuat kehadiran mereka menjadi tidak asing bagi masyarakat, karena merupakan bagian integral dari masyarakat itu sendiri. Sehingga kelahiran mereka, sebagai generasi pemberontak merupakan keharusan sejarah untuk menjawab kegelisahan masyarakat.

Seputar Demonstrasi Kenaikan Harga BBM

Dalam beberapa minggu terakhir, demonstrasi mahasiswa kembali marak di berbagai daerah di tanah air. Mahasiswa kembali menggelar parlemen jalanan untuk menyikapi dan menolak keputusan pemerintah yang telah menaikkan harga BBM. Dari Sudut pandang mahasiswa yang melihat keputusan pemerintah menaikkan harga BBM karena pengalihkan subsidi pada sektor lain, dirasa tidak akan mampu menjawab persoalan kemiskinan dan kesulitan biaya pendidikan yang selama ini telah melilit sebagian besar penduduk miskin negara ini. Bahkan sebaliknya hal ini akan mengakibatkan dampak mikro yang lebih hebat. Kenaikan harga BBM telah mengakibatkan kenaikan harga-harga lain secara tidak terkendali. Belum lagi masalah pengalokasian dana subsidi juga patut dipertanyakan dengan tidak adanya kejelasan dalam program dan infrastruktur pendukungnya.

Namun demikian, meski mengusung isu yang sama demonstrasi mahasiswa terkesan sekali tengah berjalan sendiri-sendiri. Mahasiswa lebih memilih bertahan dalam egonya masing-masing untuk meneriakkan ide yang menjadi kegelisahan mereka. Mahasiswa dengan berbagai atribut dan benderanya masing-masing lebih terkesan ingin menonjolkan kelompoknya masing-masing. Tidak ada kesatuan gerakan yang coba dibangun di antara masing-masing elemen gerakan. Sehingga meski sebenarnya memiliki sebuah kekuatan yang besar untuk merintis adanya gerakan people power, hal ini menjadi sulit diwujudkan dengan adanya egoisme sektoral yang berada pada tubuh masing-masing elemen gerakan.

Nafas gerakan yang selama ini menjadi ciri dari gerakan mahasiswa yakni bersifat masif, spontan dan sporadis, seperti menguap hilang ditelan upaya untuk mempertahankan eksistensi masing-masing kelompok gerakan dan bukan dalam upaya untuk membangun resistensi yang baik terhadap pemerintahan yang lalim dan lupa pada rakyatnya.

Sehingga menjadi patut untuk disimak bahwa gerakan mahasiswa seperti tengah berada di persimpangan jalan. Di samping pilihan untuk tetap vokal terhadap pemerintahan yang tidak memihak kepada rakyat, gerakan mahasiswa juga tengah dihadapkan pada persoalan dilematis di dalam tubuh gerakan itu sendiri. Secara tidak sadar gerakan mahasiswa tengah berjalan mendekati arena politik kepentingan. Aktivis mahasiswa telah terjebak dalam pragmatisme yang diciptakan oleh politik kekuasaan, sehingga seringkali melupakan fitrahnya sebagai bagian dari gerakam moral (moral force).

Suatu hal yang sangat bijaksana seandainya aktivis mahasiswa bisa mengingatnya kembali. Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Milan Kundera dalam bukunya The Book of Laughter and Forgetting, sesungguhnya perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa (the struggle of the man against the power, is the struggle of the man against forgetting).

*pernah dikirim ke sebuah media (koran-red), namun tak ada tanggapan.

Sapa ramah penduduk di lereng Merbabu







Sapa ramah penduduk di lereng Merbabu
Sepenggal catatan dari pendakian gunung Merbabu

……….
seolah-olah saya menghirup hawa pagi yang sejuk

seakan-akan saya kembali di muka gubuk orang jawa yang ramah

sedang sepi yang senyap

masih meliputi hutan rimba asli

yang mengelilingi diriku, tinggi di atasku, di awang-awang

……….

FRANS JUNGHUN
Leiden, November 1851

Udara dingin terasa menusuk kulit, merasuk melalui pori-pori ketika kami baru saja sampai di base camp gunung Merbabu di dusun Kedakan, Pakis, Magelang. Waktu itu jarum jam baru menunjukkan pukul 19.30 WIB, namun tiupan semilir angin dan udara dingin seperti tak pernah lalai untuk segera menyambut kedatangan kami dengan keakraban yang tak pernah ingin membedakan. Hamparan langit dengan bintang yang bertaburan seakan ingin melangkapi seuntai senyum yang coba di bangun oleh alam, sehingga mampu menyuguhkan lukisan luas yang penuh keindahan.

Hari itu penulis bersama dua orang kawan penulis berencana mendaki gunung Merbabu melalui jalur pendakian dari dusun Kedakan. Jalur ini memang lebih populer dikalangan pendaki dibandingkan dengan jalur pendakian yang lain. Sehingga biasanya diwaktu akhir pekan, suasana di base camp Kedakan tak pernah sepi dari para pendaki yang kebanyakan berasal dari wilayah Magelang dan sekitarnya. Ada sebagian dari mereka yang memang berniat untuk mendaki gunung Merbabu, namun sebagian yang lain sengaja memilih untuk menghabiskan akhir pekan di base camp lereng Merbabu ini atau bahkan hanya ingin sekadar merajut mimpi, tidur di base camp nyaris tanpa tujuan apapun selain keinginan untuk “ngaleh turu” (pindah tidur) semata. Inilah sekelumit kebiasaan dari sekelompok orang yang menamakan diri sebagai pendaki gunung. Kenyataan inilah yang telah berlangsung, semuanya terjadi di sini.

Sepertinya rutinitas diakhir pekan di base camp Kedakan ini telah berlangsung sejak beberapa tahun yang lalu. Cerita demi cerita yang pernah penulis dengar, baik dari kawan-kawan atau dari para pendaki yang sudah senior atau “sepuh”, memperlihatkan suatu minat, yang mengakibatkan adanya pertalian rasa yang seperti tak bisa dipisahkan diantara mereka dan base camp Kedakan berikut penduduk lokal yang tinggal di dusun ini.

Ada keramahan dari penduduk yang tak cukup hanya untuk dibicarakan. Keramahan itu seakan telah hidup menyatu dengan alam lereng Merbabu, sehingga mampu menjadi magnet bagi siapa saja yang pernah datang ke tempat ini untuk kemudian akan datang lagi di waktu lain, bahkan untuk beberapa kali.

Sebuah keramahan khas dari penduduk di lereng gunung yang tidak dibangun dengan kesengajaan, namun lebih sebagai wujud kearifan penduduk lokal yang merupakan cerminan dari cara pandang dalam memahami kehidupan.

Ada keakraban yang istimewa, diantara penduduk dan pendaki yang nota bene merupakan pendatang. Di sini, base camp pendakian bukanlah tempat yang sengaja dibangun dengan batas-batas ukuran formal, seperti di beberapa base camp pendakian gunung lain. Namun di sini base camp merupakan bagian dari rumah penduduk yang dibuat menjadi ruangan luas tanpa sekat yang tidak terpisah dari rumah induk penduduk, yang memang disediakan untuk para pendaki sebelum melanjutkan perjalanan menuju puncak gunung Merbabu.

Di sini ada perbincangan yang terasa hangat, tanpa membedakan antara aku atau kamu, kita atau kalian, bahkan kami atau mereka. Nuansa persaudaraan dan persahabatan seakan telah menyatu bersama semangat untuk menyambut semua tamu tanpa terkecuali para pendaki. Sehingga perbincangan yang terjadi seakan timbul seperti telah adanya pertemanan yang terjalin dalam rentang waktu yang cukup lama. Kondisi yang sama juga berlangsung di base camp-base camp dusun lain di lereng Merbabu ini. Sapa ramah dan keakraban penduduk tanpa sengaja telah turut serta mewarnai keasyikan mendaki gunung Merbabu ini.

Memang sebenarnya tidak banyak dari pendaki yang kemudian menjadikan penduduk juga sebagai salah satu faktor yang sungguh “mengasyikkan” dari kegiatan mendaki gunung. Kebanyakan bahkan menganggap penduduk hanya sekadar lintasan dalam waktu yang segera akan terlupakan ketika telah kembali pulang ke rumah seusai pendakian. Tidak pernah lagi ada pembicaraan mengenai penduduk yang ramah, jujur, dan apa adanya. Sehingga penduduk bukan merupakan bagian yang hidup dalam rangkaian perjalanan yang melingkupi kegiatan mendaki penduduk.

Di sinilah penulis kemudian merasa mendapatkan sesuatu yang berbeda dari apa yang pernah penulis rasakan ketika mencoba menikmati keindahan anugerah Tuhan dari atas ketinggian puncak-puncak gunung. Ada kesahajaan yang mengagumkan, yang melingkupi kehidupan penduduk di lereng Merbabu ini. Semuanya terasa mengalir, bersama kesederhanaan yang menjadi nyanyian sunyi kehidupan.

Tanpa terasa malam telah semakin larut. Akhirnya kami pun harus bersiap-siap untuk kembali melanjutkan perjalanan. Meniti jalan setapak, sambil terus merasai dinginnya udara Merbabu. Menyusun langkah demi langkah untuk dapat bercumbu mesra dengan alam Merbabu. Namun sayang, karena perlakuan tangan-tangan jahil manusia yang tidak bertanggungjawab kini kondisinya mulai rusak.

(dimuat di buletin wanadri edisi desember 2005-januari 2006)