Thursday, September 20, 2007

kembali bermimpi menjadi pejalan

aku mulai sadar bahwa aku memiliki pikiran mengenai kejengahan pada kondisi yang mandeg, tanpa pergerakan, tanpa perubahan setelah perjalanan itu. suatu sore dalam sebuah kereta bisnis (namun aku lebih nyaman memanggil dengan kereta ekonomi) yang membawaku ke yogyakarta. ada semacam perasaan yang membias dalam lembaran cakrawala sepanjang perjalanan itu. meskipun gelap, aku bisa menangkap senyum yang mengembang dari balik langit malam.

gerbong kereta tak begitu ramai. meski segelintir orang dipaksa serampangan menaruh badan di sepanjang jalan kecil gerbong kereta. ah, inilah kepasrahan kami. kesusahan memang telah begitu lama menemani ketika kami merasa resah. pun dalam perjalanan malam itu.

di sampingku duduk seorang perempuan. kemudian ku kenal dia sebagai dian wening, nama yang cantik, pikirku kala itu. selayaknya dalam awal pertemuan, pertanyaan-pertanyaan personal lebih banyak terlontar dalam pertemuan singkat itu. "...pulang ke mana mbak?" juga tak luput menjadi pembuka dalam perbincangan kala malam itu. diskusi kecil kemudian mengalir mencoba beradu dengan deru kereta api. segala macam tema menjadi santapan untuk bertarung mengalahkan kesenyapan. pun tak mungkin menang. diskusi tak mengambil kesimpulan. karena sengaja kami biarkan berdiri tanpa tiang pancang. hanya saja dalam perbincangan itu, kami masih sempat untuk tak sepakat mengenai satu hal persoalan.

waktu itu ada seorang peminta-minta(pengemis, red). seorang anak kecil, kira-kira umurnya 10 atau 11 tahun. seperti biasanya, aku berusaha tak memberi meski dengan perasaan yang janggal. namun kawan perempuan yang duduk di sampingku dengan tenang menaruh sekeping uang logam di tangan tengadah anak tersebut. anak itu kemudian segera beranjak. perbincangan pun segera memberi tawaran bagi pikiran yang beraneka macam. persoalan yang kutawarkan adalah demikian, "sebenarnya tak ingin membangun standar ganda terhadap peminta-minta. hanya ketika kita menghadapi seorang anak yang menjadi peminta-minta, masih sempatkah kita juga berpikir sebelum akhirnya menaruh recehan di tangan anak tersebut. memberi dia sekeping uang logam, dengan tanpa sadar kita juga turut memperpanjang usia anak tersebut sebagai peminta-minta. karena tangan tengadah adalah semacam kepasrahan yang ironis. kepingan uang logam tersebut, sekali lagi cukup mampu memperkokoh konstruksi istana yang tengah dibangun anak tersebut di jalanan. meskipun dengan catatan, secara ketat kita juga tak bisa berlaku STOP BERI UANG. anak jalanan adalah semacam kenyataan yang membingungkan. ketika pilihan itu dengan tidak memberi, terlalu sedikit lembaga, pun pemerintah yang bisa bertanggung jawab mengajak kembali anak-anak ini kepada dunia yang wajar (konsep denotasi). atau pilihan itu dengan memberi, tak juga menjawab kegelisahan anak tersebut terhadap masa depan."

kawan perempuan yang duduk di sampingku ketika dalam perjalanan malam itu, memilih tak setuju dengan alur pemikiranku. ia berpegang pada kondisi yang tak mungkin bisa tergenggam oleh satu tangan. anak jalanan (peminta-minta) jumlahnya ribuan, dan orang yang akan memberi juga lebih dari ribuan. sementara lembaga yang bisa berperan sebagai malaikat hanya beberapa gelintir saja. ketika kita menjatuhkan pilihan dengan tidak memberi, belum tentu orang lain tidak akan memilih dengan memberi. ketika ada lembaga yang mau menjadi "penyelamat", belum tentu anak-anak jalanan mau untuk "diselamatkan". pun baginya persoalan memberi adalah sebuah pemaknaan pada upaya tolong-menolong secara universal. adalah kewajiban bagi orang berpunya untuk memberi terhadap orang yang tidak berpunya. perbincangan berhenti sampai di sini. pilihan menjauhi terjadinya debat kusir yang semakin berlarut-larut memutus pembicaraan ini.

tak banyak yang terungkap, karena malam tak berhenti merayap. terlelap memang lebih menjadi jawaban tanpa pertanyaan. sementara kereta terus berjalan menyusur malam. di depanku duduk pasangan suami istri dengan seorang anak laki-laki yang kira-kira berumur 1 tahun 3 bulan. wajah anak ini imut sekali. kupikir kelak ketika ia dewasa, akan menjadi laki-laki yang manis. rupanya ia tertarik dengan keberadaanku di belakangnya. kemudian mencoba menyapaku dengan bahasa seuntai senyum. hanya senyum, yang mampu menjembatani batasan komunikasi di antara kami. selain sepatah kata yang baru dipahaminya. sepenggal kata om untuk memanggilku.

namun ternyata komunikasi ini terjalin semakin menarik. ia memberiku tawa lepas ketika kugoda dia dengan permainan ci luk ba. ah... renyah sekali tawa anak ini. sungguh menyenangkan. hanya saja karena malam semakin larut, aku merasa tak enak hati untuk meneruskan permainan dengan anak kecil itu. orang tuanya telah memintanya untuk bobo'. sementara ia sendiri belum merasa nyaman untuk menyudahi perjumpaan denganku. "...ya udah, bobo' ya dik udah malam. om juga mau bobo' kok." kataku mengakhiri tawa lepas, permainan ci luk ba, dan sepatah kata om untuk memanggilku ini.

penumpang kereta semakin banyak yang terlelap. gerbong-gerbong semakin sunyi. hanya deru kereta tetap setia menjadi pelantun memecah malam. di beberapa stasiun, kereta berhenti. saat itulah rejeki bagi pedagang-pedagang asongan. malam tak lagi di hiraukan. dingin tak pernah dirasakan. segera mereka bergerak menyambangi penumpang di gerbong-gerbong. berharap dagangan menarik minat penumpang untuk dibeli. begitu seterusnya, dari gerbong ke gerbong, kereta yang satu ke kereta yang lain. kereta singgah barang sebentar, kemudian segera melaju menyusup malam.

malam semakin hilang. berganti dini menyapa hari. mataku semakin terkantuk. akhirnya lelap mengakhiri perjalananku hingga pagi menjelang di yogyakarta. segera kutuju kamar mandi, setelah berdesakan turun dari kereta. rasa penat dan lelah kukira segera sirna setelah diguyur air segar.

semangkuk soto pak gareng begitu mudah hanyut ke dasar perut begitu aku keluar dari stasiun tugu. seorang pengamen kuminta memainkan sebuah lagu dari kla project, yogyakarta. ah, begitu indah yogyakarta pagi itu. suatu ketika pasti kuulangi, bukan hanya yogyakarta tetapi mungkin kota-kota yang lain. karena rasa-rasanya aku semakin tahu, rupanya aku telah jatuh cinta pada perjalanan.

jakarta, 21 september 2007

Thursday, September 06, 2007

elegi suatu pagi

mimpi itu tak lagi resah bercumbu malam
tak pula nyeri mendamping sepi
ah...
kegetiran tak lagi nampak dalam wujud orang-orang kota.
........
membaca kota, mencatat keganjilan.

jakarta, 7 september 2007