Wednesday, September 20, 2006

Ketika senja berlalu*

Panas terik matahari membakar kulitku, seakan tak peduli pada rintihan nafasku yang tersengal-sengal menapaki jalan setapak yang terus mendaki itu. Seekor burung Prenjak hinggap di pohon, tanpa henti terus bernyanyi serasa menghiburku, namun aku tak peduli. Mungkin karena hatiku saja yang sedang gundah, hingga tak dapat menikmati suasana yang sebenarnya sungguh mempesona. Hamparan sawah yang luas, tampak menguning bagai permadani layaknya menggambarkan kesejahteraan petani, yang selalu tersenyum menghadapi musim panen tiba. Sebuah akhir perjuangan jika dapat kukatakan. Mengapa? kalau dipikir, hasil jerih payah petani selama ini, dari mulai menanam bibit kemudian memeliharanya, sampai akhirnya tumbuh menjadi biji-biji padi yang padat berisi, selalu sebuah penantian, padi-padi yang telah menguning.

Hijaunya pegunungan di sebelah selatan, sebenarnya turut menyegarkan suasana. Suasana yang panas seakan menjadi teduh kembali ketika kulepaskan pandanganku ke arah deretan pegunungan itu. Ia seakan menyihirku, membuatku terbuai dengan kelebatan pohon-pohon yang tumbuh beranekaragam di sana. Ia seakan memaksaku untuk mengatakan bahwa deretan pegunungan itu membentuk pola yang indah. Seperti sebuah filosofi kehidupan jika mampu kuartikan bentuk pola deretan pegunungan itu. Begitu banyak makna yang tersirat dari pancaran hijaunya pepohonan yang terus tegak berdiri meski panas terik matahari membakarnya. Tak seperti diriku. Kepayahan menghadapi sengatan matahari. Ya…….mungkin karena aku manusia, yang dikaruniai perasaan hingga dapat mengeluh. Seandainya saja pohon-pohon itu bisa bicara, mungkin ia akan mengeluh, sama seperti diriku. Namun karena ia ditakdirkan menjadi sebuah pohon, jadi mereka menerima segala hal yang menimpa dirinya,tanpa bisa mengelak, karena pohon itu tak mampu bergerak, kecuali tumbuh keatas dan menjadi besar. Tetap saja mereka di situ, jika saja dari sejenisku, kaum manusia tak memindahkannya.

Namun saat itu aku tak mampu menikmati layar lebar kehidupan yang disuguhkan dalam layar lebar kehidupan oleh Tuhan. Aku benar-benar merasakan sebuah kekecewaan yang sangat mendalam. Belum pernah aku merasa kecewa, seperti saat ini. Namun tak baik kiranya jika kuungkapkan di sini, biarlah kunikmati sendiri segala resah hatiku.

Menikmati sebuah kehidupan adalah suatu keindahan. Tak selamanya setiap manusia mampu melaksanakannya. Tak begitu sulit namun membutuhkan keikhlasan hati. Seperti halnya burung prenjak yang hinggap di pohon itu dan terus bernyanyi meski suasana sebenarnya sangat panas. Ia menikmati sengatan matahari sebagai suatu instru-men yang akan mengiringinya selama ia bernyanyi.memang ak tak pernah tahu, apa mak-sud dari nyanyiannya, mungkinkah ia sedang bersukacita atau sebaliknya sedang bersusah hati. Maaf saja, aku tak pernah paham bahasa binatang. Tentang suatu ekspresi binatang, memang sepertinya bermacam-macam, hatiku tak ikhlas jika waktuku habis waktuku habis untuk mengamati tingkah laku binatang, sementara tingkah laku dari kaumkupun, aku belum memahaminya. Padahal kalau aku mau berpikir lebih jauh, sepertinya mengamati perilaku manusia sama saja mengamati perilaku binatang. Memang tak semuanya, namun secara generalisasi, secara umum, perilaku manusia pada saat ini, para orang tua mengatakan hampir mirip perilaku binatang. Tapi kenapa harus binatang ….? Bukan pohon atau rumput, atau apalah pokoknya bukan binatang. Wah, kerepotan kalau menjelaskannya. Ya, pokoknya manusia itu seperti binatang. Tapi maaf, aku tak bermaksud merendahkan derajat manusia sebagai makhluk yang paling mulia, karena kalian tahu sendiri aku juga manusia, sama seperti yang kubicarakan.

Tentang perilaku manusia yang seperti binatang, mungkin karena terpancang pada teori Evolusi Darwin. Darwin, bapak evolusi, yang telah berjasa dalam pengembangan disiplin ilmu pengetahuan. Sebatas yang kutahu itu saja, hingga pada akhirnya manusia dipersamakan dengan binatang, bukan yang lainnya.

Kini kurasakan semilir angin menerpa tubuhku, tak terasa tak terasa waktu terus bergulir tanpa pernah meninggalkan jejak sedetikpun. Mungkin, pada saat ini sahabat yang mau mengerti aku adalah waktu. Karena sang waktu, matahari harus segera pergi, seiring putaran sang waktu. Pancaran sinarnya yang panas semakin lama semakin lembut membelai tubuhku. Kunikmati suasana ini, saat-saat suatu kehidupan harus berubah bentuk dan rupa. Saat-saat suatu aktivitas diakhiri dan berhenti untuk istirahat, menikmati buaian malam yang akan segera datang.

Inilah sebenarnya cerita keindahan hari terukur, lewat semburat cahaya kemerah-merahan dari sang surya di ufuk barat. Paduan warnanya adalah sebuah kehidupan. Namun, keindahan itu akan segera sirna. Berganti sebuah keindahan lagi dalam bentuk yang berbeda.

Inilah batas sebuah kehidupan, ketika senja telah berlalu, malam tak mungkin lari untuk menemani manusia mengukir hari di dalam mimpi. Kini senja itu telah berlalu, ada kepuasan dalam diriku, dapat menikmati senja saat ini. Namun aku selalu sedih, kenapa senja harus berlalu, meninggalkan eloknya tarian kehidupan .

Dan kini senja itu telah berlalu dan harus terus berlalu…………..

Jurangmangu, 22 September 2002

*pernah dikirim ke sebuah media (surat kabar-red), namun di tolak.

No comments: