Thursday, September 14, 2006

PELACURAN INTELEKTUAL*

Tulisan dengan judul yang sama pernah dimuat di harian Sinar Harapan pada edisi 21 April 1969. Artikel itu sendiri ditulis oleh almarhum Soe Hok Gie. Ketika itu Soe Hok Gie mempertanyakan bergabungnya para akademisi ke dalam pemerintahan, meninggalkan peran mereka sebagai seorang intelektual dan lebih memilih menasbihkan diri sebagai seorang teknokrat dan birokrat.

Soe Hok Gie mempertanyakan keputusan rektor UI kala itu, Prof. Dr. Sumantri Brodjonegoro yang mau diangkat menjadi Menteri Pertambangan. Menurut pandangan Soe Hok Gie keputusan ini juga berarti pilihan sang rektor untuk mau bekerja dengan bajingan-bajingan minyak, calo-calo modal asing, dan pejabat-pejabat korup dan sloganistis. Namun rektor menjawab bahwa hal itu juga disadarinya. “Tetapi kita punya dua pilihan jika kita melihat keburukan-keburukan yang terjadi dikalangan pemerintahan. Terjun ke dalam berusaha (dan belum tentu berhasil), memperbaikinya atau tinggal di luar sambil menantikan aparat tadi ambruk. Saya memilih yang pertama dengan segala konsekuensinya.”

Jawaban yang sama juga didapatkan oleh Soe Hok Gie ketika hal yang sama juga ditanyakan kepada teman-temannya yang lain yang juga bergabung dengan pemerintah dan menduduki pos-pos tertinggi di dalam pemerintahan. Soe Hok Gie percaya bahwa beberapa di antara mereka melakukan kompromi-kompromi, memberikan “izin-izin istimewa” dan kadang-kadang tidak bertindak terhadap (belum bertindak) penyelewengan-penyelewengan yang terjadi di sekitarnya. Meskipun demikian Soe Hok Gie tetap menaruh hormat pada mereka. Karena mereka bekerja dalam situasi yang sulit dan berusaha untuk mencapai hasil-hasil yang maksimal.

Kini setelah tahun 2005, berarti telah hampir genap 36 tahun waktu berjalan. Apa yang menjadi kegelisahan Soe Hok Gie, bukan hanya menjadi kenyataan, namun lebih dari sekadar itu. Kegelisahan itu telah menjadi cerita yang sangat manis mengawal jalannya pemerintahan negara ini. Penyelewengan demi penyelewengan –dan seringkali menjadi tidak kelihatan- yang juga dilakukan oleh mantan akademisi sebagai seorang intelektual bukan hanya belum ditindak, tetapi kadangkala malah dibiarkan dengan alasan praktis memperlancar pembangunan. Atau dengan kata lain seperti apa yang pernah diungkapkan oleh mantan Presiden Soeharto, bahwa hal-hal tersebut dibutuhkan sebagai pelumas pembangunan.

Dilematika seperti ini memang kemudian menjadi sulit untuk diberi makna yang pantas. Intelektual pada mulanya adalah bagian dari representasi kemerdekaan publik. Keberadaan intelektual menjadi penting ketika mereka mampu memainkan perannya dengan baik. Memang tuntutan kepada seorang intelektual sangatlah berat. Seorang intelektual yang mampu berdiri tanpa berpijak pada sebuah paham ataupun golongan tertentu, merupakan hakekat peran yang harus dimainkan oleh seorang intelektual. Sebagaimana dikatakan oleh Julian Benda, bahwa para cendekiawan pada hakekatnya tidak memiliki tujuan-tujuan praktis; Motif mereka adalah kegairahan untuk berbakti kepada kebenaran. Para cendekiawan tidak semestinya terjebak ke dalam kegiatan-kegiatan yang meninggikan pertimbangan atas keuntungan-keuntungan sosial politik kebendaan. “Kerajaanku bukanlah di dunia ini,” adalah motto yang menurut Benda semestinya mendominasi kata hati seorang intelektual. (Julian Benda, The Treason of Intellectuals. 1928)

Namun seringkali kenyataan yang sebaliknyalah yang kita dapati dalam realitas yang ada. Peran seorang intelektual seringkali telah menjadi berhenti ketika mereka masuk atau terkooptasi ke dalam sistem pemerintahan. Intelektual ini yang pada awalnya berangkat dari kenyataan empiris keilmuan dan rasionalitas, kemudian menjadi penghamba yang patuh dari kekuasaan. Kebebasan yang dimiliki oleh seorang intelektual –seperti diungkapkan oleh Th. Sumartana- untuk terus mempertanyakan kembali seluruh perangkat pengertian politik yang ada di masyarakatnya secara menyeluruh dan menjadi penggugat yang mengajukan keberatan terhadap segala hal yang dianggapnya tidak sesuai dengan ukuran-ukuran moral yang diyakininya (Anarki Kepatuhan, hal 4. 1996), kemudian menjadi hilang –beku- karena terkotak-kotak ke dalam pencapaian tujuan yang lebih sempit.

Kenyataan yang lebih menggelisahkan kemudian adalah semakin hilangnya terminologi kebenaran absolut. Kebenaran menjadi kata yang sangat “mahal” untuk diperoleh. Terlebih kebenaran yang kemudian diproduksi merupakan hasil kesepakatan bersama yang diperoleh melalui pertimbangan-pertimbangan akan keuntungan yang lebih besar di masa mendatang. Kebenaran kemudian dibungkus dengan sedemikian rapihnya sehingga menjadi layak dan pantas dalam pengungkapannya.

Realitas seperti inilah yang telah berulangkali kita temui dalam beberapa periode masuknya unsur-unsur intelektual ke dalam sistem pemerintahan. Kenyataan mengatakan bahwa keberadaan mereka cenderung terlibas oleh arus kekuasaan yang korup. Dan menjadi sangat jarang yang berhasil mempertahankan eksistensinya sebagai penjaga suara roh dan melantunkan tembang-tembang surgawi buat memberikan perimbangan bagi hidup keduniawian yang semrawut. (ibid, hal 9). Keberadaan mereka justru menjadi pembenar dari perkataan dari Lord Acton, “Power tends to corrupt. Absolute power, corrupt absolutely.”

Runtuhnya Dinding Moralitas.

Minggu, 26 Desember 2004 silam, menjadi hari yang terasa sulit dilupakan oleh masyarakat Aceh. Hari itu juga menjadi kepedihan bagi bangsa ini dan keprihatinan bagi bangsa-bangsa seluruh dunia. Ketika pagi yang belumlah sempurna tiba-tiba menjadi saat yang paling menakutkan. Gempa besar yang disertai dengan datangnya gelombang Tsunami yang hebat seakan menjadi tamu yang terlalu pagi untuk mengetuk pintu. Namun tamu itu ternyata datang dengan membawa kabar yang sangat menyedihkan.

Tamu yang berpakaian bencana itu seakan ingin melengkapi kebingungan yang tengah menghinggapi masyarakat Aceh, ketika beberapa hari sebelumnya pemimpin mereka, Gubernur Abdulah Puteh terpaksa harus menginap di Rutan Salemba atas dugaan penyelewengan dana atau korupsi dalam pembelian Helikopter. Puteh akhirnya diputus bersalah oleh pengadilan dan di vonis dengan hukuman penjara selama 10 tahun berikut hukuman subsider lainnnya.

Namun bukan hanya Aceh dan bukan hanya Puteh yang telah menjadi kenyataan sendu bagi bangsa ini. Bencana seakan tidak mau berhenti hanya sampai di Aceh saja. Daerah lain, meski tidak separah di Aceh juga turut kedatangan tamu yang sejatinya tidak diharapkan ini. Begitupun dengan apa yang telah dilakukan oleh Puteh. Sebelumnya telah ada beberapa Puteh-Puteh lain yang telah di giring masuk bui, meski masih ada juga Puteh-Puteh lain yang masih berkeliaran dengan bebasnya sampai sejauh ini.

Sesungguhnya apa yang sebenarnya terjadi. Seorang bapak dengan terpaksa harus mencuri seekor ayam karena anak dan istrinya sudah tidak kuat lagi untuk menahan lapar. Namun hal ini lain. Jabatan seperti gubernur atau kedudukan sebagai wakil rakyat ataupun jabatan-jabatan publik lainnya, terlalu naïf jika berurusan dengan masalah perut yang keroncongan karena lapar. Mereka mewakili golongan orang-orang yang terpilih untuk menduduki jabatan yang terhormat dengan diberikan gaji dan fasilitas yang terhormat pula. Demikian terjaminnya kehidupan mereka.

Orang-orang hebat ini, yang terdidik dalam lingkungan pendidikan yang bermartabat, seperti memutuskan untuk tidak merasa perlu mengindahkan suara sunyi dari nurani kecil yang masih menjaga kesucian diri. Sehingga perihal iman, etika, dan moral seakan telah menjadi nyanyian sumbang yang tak perlu didendangkan lagi

Kenyataan semakin bertambah kelam, saat angin juga memberi kabar ditangkapnya Mulyana W Kusuma. Mulyana ditangkap berkaitan dengan penyuapan yang dilakukannya terhadap seorang pegawai BPK, menyangkut audit BPK terhadap KPU. Hal ini kemudian menjadi indikasi yang kuat, bahwa terdapat korupsi di tubuh KPU. Untuk kesekian kali, ada sesuatu yang semakin menjauh dari kesadaran dan keinginan.

Semua mengangguk ketika dikatakan bahwa KPU dibentuk agar menjadi lembaga yang terhormat. Semua tidak menyangkal kalau Mulyana adalah seorang yang bermartabat. Namun semua juga membenarkan kalau kenyataan tidak pernah berbohong dan akan selalu berkata jujur.

Puteh dan Mulyana memilih mewakili segelintir orang yang akan mengangguk dengan malu-malu ketika padanya dikatakan, “ Seperti mustahilnya bagi seseorang untuk tak merasakan madu ataupun racun yang ada di ujung lidahnya, mustahillah bagi seseorang yang berurusan dengan dana pemerintah untuk tak mencicipi, meski sedikit saja, kekayaan sang raja.” (Kautilya, The Arthashastra. 2000)

Inikah zaman kalabendu seperti pernah dialami dan di ceritakan oleh masyarakat yang memilih “membangkang” dan bertahan dalam lokasi proyek bendungan besar Kedung Ombo. Ketika itu masyarakat harus merasakan penderitaan yang sangat dan kemudian harus terusir dari tanah leluhurnya demi ideologi pembangunanisme dari pemerintah. Pemerintah, seperti kemudian terjadi memilih melupakan ukuran-ukuran kemanusiaan dan moralitas dalam menghadapi masyarakat “pembangkang” ini.

Atau inilah zaman edan yang menjadi kegelisahan dari pujangga besar Ronggowarsito, di mana tak pernah diungkapkan kapan berlangsungnya dan kapan berakhirnya, karena mungkin saja akan terjadi sepanjang zaman. Pertanyaan demi pertanyaan seakan terus menggelora memenuhi isi kepala, tanpa pernah bertemu tatap dengan jawabnya.

*pernah dikirim ke sebuah media (koran-red) namun tak ada tanggapan.

1 comment:

Tabrani Yunis said...

sangat inspiratif dan banyak pelajaran penting untuk dipetik