Wednesday, September 06, 2006

LAHIRNYA GENERASI PEMBERONTAK*






“Hati setiap pemuda mengenal keinginan dan keputusasaan, yang tak dapat diajuk hanya dengan ukuran-ukuran rasional. Dilain pihak pemuda selalu dibakar oleh cita-cita dan idealisme yang tinggi-tinggi. Mereka lincah, sigap dan suka meledak karena penuh vitalitas. Mereka tenggelam dalam semangat ”tak mengenal mati”, dan untuk membuktikan semangat itu mereka mempunyai kecenderungan untuk melakukan tindakan-tindakan ekstrem” (Adam Malik)

Sejarah telah mencatat bagaimana upaya-upaya kaum muda untuk mengabdikan diri kepada masyarakat. Bagian kehidupan yang lebih luas yang secara tidak langsung telah memanggil peran pemuda pada persoalan-persoalan yang pelik. Keterlibatan pemuda -dalam hal ini bisa diwakili oleh segolongan kecil mahasiswa- menjadi bagian yang penting dengan menjadi motor penggerak dalam perubahan struktur sosial dalam masyarakat. Kehadiran mereka mewakili segolongan kecil intelektual yang memilih berumah diatas angin, tanpa berpihak pada sebuah paham ataupun kepentingan golongan tertentu. Mereka hadir untuk terus mempertanyakan kembali seluruh struktur atau perangkat pengertian politik yang ada di masyarakatnya secara menyeluruh. Mereka muncul sebagai penggugat terhadap segala hal yang dianggapnya tidak sesuai dengan ukuran-ukuran moral yang diyakininya.

Perasaan tidak puas dan kegelisahan seringkali menjadi alasan yang cukup kuat menarik perhatian segolongan kecil anggota masyarakat ini untuk menjadi “pemberontak” terhadap kekakuan sistem yang ada. Sehingga, mereka seringkali mendapat cap sebagai bagian dari anak haram politik pendidikan pemerintah (Hariman Siregar, 2001).

Mahasiswa dan Dunia Aktivisme

Tak dapat dipungkiri, bahwasanya setiap periode perubahan di negara ini selalu dihadiri oleh keterlibatan peran mahasiswa. Mahasiswa selalu berada di garda terdepan sebagai pelopor terjadinya perubahan. Secara aktif mereka meninggalkan bangku perkuliahan untuk memulai ataupun untuk melibatkan diri pada proses perubahan yang sedang berlangsung. Bahkan terkadang mereka terlibat dalam aktivitas ekstrem yang kelewat berani. Demonstrasi, kelompok studi dan diskusi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan pribadi seorang aktivis mahasiswa untuk mengasah keintelektualitasan, agar dapat memahami realitas fenomena sosial yang sedang terjadi.

Namun dalam periode sekarang ini, keterlibatan mahasiswa dalam aktivitas-aktivitas kenegaraan sedikit banyak mendapat pertanyaan dari berbagai kalangan masyarakat. Aktivitas-aktivitas mereka tidak mampu dipahami oleh sebagian besar masyarakat. Mereka telah menjadi bagian yang “angkuh” dari masyarakat, dengan beban stempel sebagai seorang aktivis mahasiswa. Terkadang mahasiswa hanya paham secara teoritis tentang apa yang sebenarnya terjadi tanpa bisa menawarkan solusi konkret pada apa yang menjadi kegelisahan masyarakat –bagian yang menjadi objek perjuangan aktivis mahasiswa.

Mimpi-mimpi mahasiswa terlalu tinggi, bahkan jauh berada di menara gading, sehinga sulit untuk diraih oleh kerangka pikir rasional masyarakat. Sehingga secara tidak sadar mahasiswa malah terjebak dalam dunia aktivisme –sebagai dunia elit yang dibangun dalam lingkungan mereka sendiri. Mahasiswa semakin terhanyut dalam pengertian yang mereka bangun mengenai sosok idealis yang lebih identik dengan pemikiran high politics dan high issue yang tentunya hanya dapat dipahami oleh kalangan mereka sendiri. Sehingga dunia aktivisme dan aktivis mahasiswa menjadi bagian yang tidak tersentuh oleh masyarakat. Bahkan sepertinya, selamanya mereka membuat mayarakat sebagai bagian yang tak pernah sadar, menganggap mereka sebagai objek, yang selamanya akan menerima segala tindakan yang dijalani dalam kerangka keterlibatan mahasiswa dalam arena kenegaraan.

Dalam pengertian ini, secara tidak sadar mahasiswa telah membuat jurang pemisah atau diskrepansi dengan masyarakat. Perubahan yang ditawarkan oleh mahasiswa tidak mampu menyentuh kehidupan masyarakat. Idealisme yang mereka anut hanya menjadi nyanyian sumbang di telinga masyarakat. Aktivis mahasiswa menjadi sosok idealis yang sangat unik dalam penglihatan kacamata masyarakat. Dalam hal ini ide yang ditawarkan belum berhasil menghadirkan realitas sosial baru atau hanya terjadi involusi kata-kata. Di mana kata-kata ataupun ide yang mengandung maksud dan tujuan yang suci dan luhur diproduksi sebanyak-banyaknya, tetapi tujuannya bukan untuk apa-apa, kecuali sekadar untuk didengarkan belaka dan lebih jauh lagi sebagai hiburan dan pelipur lara belaka. Kata-kata diproduksi dan dikembangkan sedemikian rupa dan sebanyak-banyaknya demi untuk menjadi kata-kata itu sendiri, bukan untuk tujuan menciptakan alam nyatanya. Dengan demikian, kata-kata yang bagus, indah, merdu, dan puitis yang mengandung maksud dan tujuan yang suci dan luhur tidak banyak artinya bagi penciptaan realitas sosial (Akhmad Zaini Akbar, 1996).

Aktivis mahasiswa sebagai pihak yang memosisikan diri sebagai pihak yang berperan untuk terus mempertanyakan kebijakan pemerintah, seharusnya memahami hal ini. Bagaimana seharusnya membumikan ide-ide yang selama ini menjadi mimpi-mimpi mereka sehingga mampu dipahami oleh masyarakat, pada hematnya merupakan agenda yang harus segera menjadi pertimbangan untuk dilakukan. Hal ini akan membuat kehadiran mereka menjadi tidak asing bagi masyarakat, karena merupakan bagian integral dari masyarakat itu sendiri. Sehingga kelahiran mereka, sebagai generasi pemberontak merupakan keharusan sejarah untuk menjawab kegelisahan masyarakat.

Seputar Demonstrasi Kenaikan Harga BBM

Dalam beberapa minggu terakhir, demonstrasi mahasiswa kembali marak di berbagai daerah di tanah air. Mahasiswa kembali menggelar parlemen jalanan untuk menyikapi dan menolak keputusan pemerintah yang telah menaikkan harga BBM. Dari Sudut pandang mahasiswa yang melihat keputusan pemerintah menaikkan harga BBM karena pengalihkan subsidi pada sektor lain, dirasa tidak akan mampu menjawab persoalan kemiskinan dan kesulitan biaya pendidikan yang selama ini telah melilit sebagian besar penduduk miskin negara ini. Bahkan sebaliknya hal ini akan mengakibatkan dampak mikro yang lebih hebat. Kenaikan harga BBM telah mengakibatkan kenaikan harga-harga lain secara tidak terkendali. Belum lagi masalah pengalokasian dana subsidi juga patut dipertanyakan dengan tidak adanya kejelasan dalam program dan infrastruktur pendukungnya.

Namun demikian, meski mengusung isu yang sama demonstrasi mahasiswa terkesan sekali tengah berjalan sendiri-sendiri. Mahasiswa lebih memilih bertahan dalam egonya masing-masing untuk meneriakkan ide yang menjadi kegelisahan mereka. Mahasiswa dengan berbagai atribut dan benderanya masing-masing lebih terkesan ingin menonjolkan kelompoknya masing-masing. Tidak ada kesatuan gerakan yang coba dibangun di antara masing-masing elemen gerakan. Sehingga meski sebenarnya memiliki sebuah kekuatan yang besar untuk merintis adanya gerakan people power, hal ini menjadi sulit diwujudkan dengan adanya egoisme sektoral yang berada pada tubuh masing-masing elemen gerakan.

Nafas gerakan yang selama ini menjadi ciri dari gerakan mahasiswa yakni bersifat masif, spontan dan sporadis, seperti menguap hilang ditelan upaya untuk mempertahankan eksistensi masing-masing kelompok gerakan dan bukan dalam upaya untuk membangun resistensi yang baik terhadap pemerintahan yang lalim dan lupa pada rakyatnya.

Sehingga menjadi patut untuk disimak bahwa gerakan mahasiswa seperti tengah berada di persimpangan jalan. Di samping pilihan untuk tetap vokal terhadap pemerintahan yang tidak memihak kepada rakyat, gerakan mahasiswa juga tengah dihadapkan pada persoalan dilematis di dalam tubuh gerakan itu sendiri. Secara tidak sadar gerakan mahasiswa tengah berjalan mendekati arena politik kepentingan. Aktivis mahasiswa telah terjebak dalam pragmatisme yang diciptakan oleh politik kekuasaan, sehingga seringkali melupakan fitrahnya sebagai bagian dari gerakam moral (moral force).

Suatu hal yang sangat bijaksana seandainya aktivis mahasiswa bisa mengingatnya kembali. Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Milan Kundera dalam bukunya The Book of Laughter and Forgetting, sesungguhnya perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa (the struggle of the man against the power, is the struggle of the man against forgetting).

*pernah dikirim ke sebuah media (koran-red), namun tak ada tanggapan.

No comments: