Wednesday, September 06, 2006

Sapa ramah penduduk di lereng Merbabu







Sapa ramah penduduk di lereng Merbabu
Sepenggal catatan dari pendakian gunung Merbabu

……….
seolah-olah saya menghirup hawa pagi yang sejuk

seakan-akan saya kembali di muka gubuk orang jawa yang ramah

sedang sepi yang senyap

masih meliputi hutan rimba asli

yang mengelilingi diriku, tinggi di atasku, di awang-awang

……….

FRANS JUNGHUN
Leiden, November 1851

Udara dingin terasa menusuk kulit, merasuk melalui pori-pori ketika kami baru saja sampai di base camp gunung Merbabu di dusun Kedakan, Pakis, Magelang. Waktu itu jarum jam baru menunjukkan pukul 19.30 WIB, namun tiupan semilir angin dan udara dingin seperti tak pernah lalai untuk segera menyambut kedatangan kami dengan keakraban yang tak pernah ingin membedakan. Hamparan langit dengan bintang yang bertaburan seakan ingin melangkapi seuntai senyum yang coba di bangun oleh alam, sehingga mampu menyuguhkan lukisan luas yang penuh keindahan.

Hari itu penulis bersama dua orang kawan penulis berencana mendaki gunung Merbabu melalui jalur pendakian dari dusun Kedakan. Jalur ini memang lebih populer dikalangan pendaki dibandingkan dengan jalur pendakian yang lain. Sehingga biasanya diwaktu akhir pekan, suasana di base camp Kedakan tak pernah sepi dari para pendaki yang kebanyakan berasal dari wilayah Magelang dan sekitarnya. Ada sebagian dari mereka yang memang berniat untuk mendaki gunung Merbabu, namun sebagian yang lain sengaja memilih untuk menghabiskan akhir pekan di base camp lereng Merbabu ini atau bahkan hanya ingin sekadar merajut mimpi, tidur di base camp nyaris tanpa tujuan apapun selain keinginan untuk “ngaleh turu” (pindah tidur) semata. Inilah sekelumit kebiasaan dari sekelompok orang yang menamakan diri sebagai pendaki gunung. Kenyataan inilah yang telah berlangsung, semuanya terjadi di sini.

Sepertinya rutinitas diakhir pekan di base camp Kedakan ini telah berlangsung sejak beberapa tahun yang lalu. Cerita demi cerita yang pernah penulis dengar, baik dari kawan-kawan atau dari para pendaki yang sudah senior atau “sepuh”, memperlihatkan suatu minat, yang mengakibatkan adanya pertalian rasa yang seperti tak bisa dipisahkan diantara mereka dan base camp Kedakan berikut penduduk lokal yang tinggal di dusun ini.

Ada keramahan dari penduduk yang tak cukup hanya untuk dibicarakan. Keramahan itu seakan telah hidup menyatu dengan alam lereng Merbabu, sehingga mampu menjadi magnet bagi siapa saja yang pernah datang ke tempat ini untuk kemudian akan datang lagi di waktu lain, bahkan untuk beberapa kali.

Sebuah keramahan khas dari penduduk di lereng gunung yang tidak dibangun dengan kesengajaan, namun lebih sebagai wujud kearifan penduduk lokal yang merupakan cerminan dari cara pandang dalam memahami kehidupan.

Ada keakraban yang istimewa, diantara penduduk dan pendaki yang nota bene merupakan pendatang. Di sini, base camp pendakian bukanlah tempat yang sengaja dibangun dengan batas-batas ukuran formal, seperti di beberapa base camp pendakian gunung lain. Namun di sini base camp merupakan bagian dari rumah penduduk yang dibuat menjadi ruangan luas tanpa sekat yang tidak terpisah dari rumah induk penduduk, yang memang disediakan untuk para pendaki sebelum melanjutkan perjalanan menuju puncak gunung Merbabu.

Di sini ada perbincangan yang terasa hangat, tanpa membedakan antara aku atau kamu, kita atau kalian, bahkan kami atau mereka. Nuansa persaudaraan dan persahabatan seakan telah menyatu bersama semangat untuk menyambut semua tamu tanpa terkecuali para pendaki. Sehingga perbincangan yang terjadi seakan timbul seperti telah adanya pertemanan yang terjalin dalam rentang waktu yang cukup lama. Kondisi yang sama juga berlangsung di base camp-base camp dusun lain di lereng Merbabu ini. Sapa ramah dan keakraban penduduk tanpa sengaja telah turut serta mewarnai keasyikan mendaki gunung Merbabu ini.

Memang sebenarnya tidak banyak dari pendaki yang kemudian menjadikan penduduk juga sebagai salah satu faktor yang sungguh “mengasyikkan” dari kegiatan mendaki gunung. Kebanyakan bahkan menganggap penduduk hanya sekadar lintasan dalam waktu yang segera akan terlupakan ketika telah kembali pulang ke rumah seusai pendakian. Tidak pernah lagi ada pembicaraan mengenai penduduk yang ramah, jujur, dan apa adanya. Sehingga penduduk bukan merupakan bagian yang hidup dalam rangkaian perjalanan yang melingkupi kegiatan mendaki penduduk.

Di sinilah penulis kemudian merasa mendapatkan sesuatu yang berbeda dari apa yang pernah penulis rasakan ketika mencoba menikmati keindahan anugerah Tuhan dari atas ketinggian puncak-puncak gunung. Ada kesahajaan yang mengagumkan, yang melingkupi kehidupan penduduk di lereng Merbabu ini. Semuanya terasa mengalir, bersama kesederhanaan yang menjadi nyanyian sunyi kehidupan.

Tanpa terasa malam telah semakin larut. Akhirnya kami pun harus bersiap-siap untuk kembali melanjutkan perjalanan. Meniti jalan setapak, sambil terus merasai dinginnya udara Merbabu. Menyusun langkah demi langkah untuk dapat bercumbu mesra dengan alam Merbabu. Namun sayang, karena perlakuan tangan-tangan jahil manusia yang tidak bertanggungjawab kini kondisinya mulai rusak.

(dimuat di buletin wanadri edisi desember 2005-januari 2006)


No comments: