Monday, September 11, 2006

Memori Singkat Matinya Seorang Sahabat

Memori Singkat Matinya Seorang Sahabat
Sepenggal Catatan Dari Pementasan Monolog Matinya Seorang Pejuang
A Tribute to Munir*

“Seperti yang selalu kutakutkan selama ini, akhirnya orang-orang itu membunuhnya. Aku mengetahuinya pertama kali dari koran-koran. Aneh rasanya. Sebagai seorang sahabat mestinya aku mengetahuinya langsung. Tapi selalu dikatakannya, kematian tidak pernah bisa diduga oleh siapapun.” (Naskah Monolog).

***

Kemudian nyala lampu mati. Seorang laki-laki berjalan dalam kegundahan menuju sebuah panggung sebagai “jagad cilik.” Dua buah kursi dan sebuah meja begitu nyata menawarkan elegi kesunyian dalam pertemuan yang berjalan teramat panjang. Namun laki-laki itu sendiri, tidak dengan siapapun. Hanya sebuah papan catur, lengkap dengan buah catur yang telah tersusun dengan sangat rapi, sebagai barisan manusia dalam kehidupan.

Sesaat, nyala api membakar sepuntung rokok, namun tak cukup untuk terlalu lama memberi kenikmatan. Hanya sekejap, seperti kenyataan yang tak perlu terlalu lama memberi kesadaran. Laki-laki itu kemudian mulai memainkan buah catur. Pion kecil maju ke depan. Hanya selangkah. Lama ia termenung, menekuni papan catur. Di papan catur hanya ada dua warna, hitam atau putih. Tidak ada kelabu. Seharusnya seperti apa yang ingin menjadi impian bagi laki-laki itu. Untuk dunia ini, cukup hitam atau putih, tak perlu kelabu.

Sepantasnya dalam sebuah monolog, laki-laki itupun mulai berkata-kata. Tidak terlalu penting baginya menunggu orang lain –entah sebagai kawan atau lawan- mengajaknya atau diajaknya bertutur-kata. Terlarut dalam obrolan-obrolan panjang yang terkadang sangat melelahkan. Namun laki-laki itu memilih berkata seorang diri. Berkata pada diri sendiri. Berkata dengan diri sendiri. Dengan begitu ia lebih mengerti, untuk apa ia harus berkata-kata.

***

Laki-laki yang memilih memainkan peran sebagai aktor tunggal dalam pementasan monolog ini adalah Whani Darmawan, seorang pekerja teater dari Yogyakarta. Whani telah memilih memainkan peran ini karena alasan kemanusiaan. Baginya, sebagaimana kemudian ia tuturkan seuasai acara pementasan, tiada alasan apapun yang bisa dijadikan dasar bagi seseorang atau apapun juga untuk melakukan pembunuhan terhadap orang lain. Tidak juga kepada Munir, dimana sepenggal kisah hidupnya diangkat dalam pementasan ini. Munir adalah juga seorang manusia biasa. Hanya kebetulan dia adalah aktivis HAM. Hanya kebetulan dia adalah aktivis Kontras, dan kebetulan-kebetulan lain yang melekat pada pribadi Munir, termasuk keberanian seorang Munir. Pembunuhan juga tidak bisa dilakukan kepada tukang batu, tukang becak, dan tukang-tukang yang lain, begitu Whani berpendapat.

Pementasan monolog yang seluruhnya berdurasi 45 menit ini, lebih nyata menunjukkan kegelisahan dari seorang pribadi sebagai manusia karena kematian kawan karib. Lintasan kehidupan masa lalu bersama sang kawan terekam jelas dalam alur demi alur yang tersaji dari pementasan ini. Pembicaraan diri yang kemudian terjadi memperlihatkan kegelisahan karena kenyataan yang terlalu sendu begitu cepat datang menghampiri. Ada kenyataan yang tidak bisa diterima, namun ada kesadaran yang ingin dibangun mengenai cerita kematian sebagai suatu hal yang pasti, tetapi bukan untuk ditakuti –sebagaimana pernah diajarkan oleh sang kawan-Munir, sebelum maut telah datang terlalu cepat menemuinya. Hingga akhirnya kisah-kisah kesedihan, kedukaan dan perasaan kehilangan bercampur-aduk dengan rasa jengkel, dan kemarahan yang berlomba-lomba memenuhi benak –yang tercermin dalam diri sang aktor- begitu pementasan ini bercerita, karena kehidupan yang begitu singkat dan kematian sang kawan yang datang terlalu cepat. Kematian selanjutnya menjadi hal yang tak perlu terlalu lama untuk diratapi, namun ada pemaknaan lebih lugas yang harus dilakukan.

Pementasan ini juga memperlihatkan sebuah bentuk pengalaman batin dari F.X Rudy Gunawan, sebagai penulis naskah. Melalui barisan kata-kata yang dipilihnya, Rudy berusaha memvisualisasikan pergolakan pikiran yang telah terjadi dalam dirinya bersama sang kawan –Munir. Karakter Munir meski sepenggal, kemudian muncul dalam kilatan-kilatan singkat yang berlangsung lewat dialog dalam monolog. Rudy seperti tengah mewujudkan rekaman kejadian yang telah dilaluinya dalam kehidupan bersama sang kawan –Munir. Mungkin Rudy pernah bergaul secara akrab dan melakukan perbincangan-perbincangan hangat dan panjang dengan almarhum Munir. Entah juga lewat cerita-cerita dari kawan akrab almarhum Munir, atau melalui berita-berita di berbagai media, sesungguhnya hal ini lebih diketahui oleh F.X Rudy Gunawan sendiri.

Namun ada kegelisahan yang belum menemukan jawaban dalam pementasan yang memilih tempat di Bentara Budaya Jakarta ini. Pementasan yang digarap oleh sutradara Landung Simatupang, seperti masih enggan untuk berbicara kepada dunia luas. Sebagai sebuah karya seni yang juga mendapat sentuhan musik latar dari komponis kenamaan sekaliber Tony Prabowo dan penata artistik Hendro Suseno, memang karya ini telah pada tempatnya untuk dipentaskan dalam ruang apresiasi BBJ. Namun serupa warna hitam yang memenuhi panggung tempat berlangsungnya pementasan hingga mampu memunculkan suasana kelam, tanpa sengaja catatan kelam juga turut tergores dalam lintasan waktu yang ada, seiring berlangsungnya pementasan ini.

Ada nuansa eksklusivisme yang membalut dan memenuhi ruang-ruang yang dihadirkan dalam pementasan monolog ini. Karya ini masih bertahan dalam tataran ide-ide sentris mengenai kerja kesenian khususnya pementasan monolog, sebagai karya seni yang memang masih terlalu sulit untuk dipahami oleh semua orang. Hingga akhirnya pilihan pementasan ditetapkan di BBJ. Pilihan ini setidaknya mengandung dua konsekuensi logis yang memang kelihatannya menguntungkan. Pertama pengunjung yang datang dalam pementasan ini sangat mungkin seorang seniman atau setidaknya penikmat seni, yang tentunya akan lebih terasa dalam memberikan apresiasi. Kedua mengingat pementasan ini yang memang mengangkat sebuah “isu” kemanusiaan dan pelanggaran HAM, di mana sosok Munir ditampilkan sebagai tokoh sentral, pengunjung yang juga menghadiri pementasan ini merupakan seorang aktivis atau setidaknya pernah mengenal dunia aktivisme. Sehingga menjadi kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran mereka lebih karena kesudahtahuan akan isu yang ditawarkan, bukan keinginan untuk mengetahui kenapa monolog ini harus mengangkat sosok Munir dan keberaniannya dalam berjuang sampai kemudian kematian menjemput.

Keberadaan BBJ di sini kemudian malah menjadi sekat pemisah bagi akses yang lebih luas bagi seluruh rakyat, di mana Munir berjuang untuk hal itu. Dalam pengertian ini, terlihat bias yang mengemuka ketika melihat pementasan ini sebagai sebuah bagian dari kampanye kemanusiaan dan perjuangan menegakkan HAM, termasuk bentuk solidaritas bagi penuntasan kasus Munir. Ada hal yang terlupakan dari pementasan ini. Munir, sebagai seorang aktivis maupun intelektual, memutuskan melakukan bunuh diri kelas, untuk lebih memahami pilihannya dalam menapaki jalan sepi yang tidak dilalui oleh banyak orang. Munir tidak berada di luar dari apa yang diperjuangkannya, namun terlibat secara aktif di dalamnya. Dalam pengertian inilah sesungguhnya seringkali ada kealpaan dalam penyajian sebuah karya seni yang mencoba mengangkat isu-isu besar mengenai kemanusiaan.

Seandainya pementasan ini tidak bertempat di BBJ, namun di tempat lain yang lebih mudah diakses oleh banyak orang, mungkin akan lebih banyak lagi orang yang akan mengetahui apa yang menjadi kegelisahan seorang Munir dan mengapa akhirnya kemudian Munir harus dibunuh.

Munir hanyalah seorang manusia biasa yang mencoba menggali dimensi-dimensi kemanusiaanya untuk menjadi manusia yang lebih manusiawi” (Naskah Monolog).

*pernah dikirim ke sebuah media (koran-red), ditolak.

No comments: